Dulu, sebuah ungkapan hati, perasaan galau dan semacamnya, jarang ada
yang mengungkapkannya secara terang-terangan. Perasaan-perasaan itu memang
bersifat privat, sehingga paling banter hanya diungkapkan melalui curahan hati
kepada orang terdekat, atau hanya ditulis di dalam sebuah diari (catatan
harian).
Ada yang dulu sering menulis di dalam diari? Kalo saya sih sering. Nah...
yang namanya diari ini, biasanya bersifat rahasia. Si pemilik tidak akan memperbolehkan
orang lain untuk membaca diari miliknya. Kalaupun ada yang diperbolehkan
membacanya, pastilah memiliki hubungan spesial dengan si pemilik. Misal,
sahabatnya.
Itu dulu. Bagaimana dengan sekarang? Zaman sekarang, posisi diari
seakan tergantikan oleh kehadiran jejaring sosial, khususnya Facebook dan
Twitter. Bedanya, jejaring sosial sama sekali tidak bersifat rahasia. Efeknya
jelas, ungkapan hati, perasaan galau dan semacamnya justru diumbar kemana-mana.
Semua orang bisa tahu, tanpa ada privasi sedikit pun.
Dulu, kita tidak bisa begitu saja membaca curhatan-curhatan di
dalam diari seseorang, bahkan meski kita menginginkannya. Sedangkan sekarang, kita
nyaris selalu membaca curhatan-curhatan di akun jejaring sosial seseorang,
bahkan meski kita TIDAK menginginkannya.
Saya memiliki seorang teman perempuan di Facebook yang nyaris semua
statusnya adalah curhat. Masalahnya, dia sangat sering update status!
Akibatnya, curhatan-curhatan dia selalu muncul di newsfeed. Sialan. Ini
contoh statusnya:
“BT, malam ini nggak jadi malmingan...” atau,
“Sayangku, kapan dateng ke rumah?” atau,
“Asiiik, tar sore bakal diapelin. Kencaaan...” atau,
“Kenapa sih kamu nggak pernah mau ngertiin aku? Padahal selama ini
aku selalu mau ngertiin kamu! Pacaran tuh harusnya saling memahami, jangan
egois! Nyebelin!”
Begitulah. Siapa yang nggak kesel jika hampir tiap hari membaca status
macam itu? Anehnya, status-status macam itu selalu banyak penggemarnya. Jumlah like
tiap statusnya selalu lebih dari sepuluh. Ah, saya jadi benar-benar berharap
Facebook mau menyediakan tombol dislike...
Namun, kekesalan saya akhirnya malah berubah menjadi tawa geli, saat
teman perempuan itu (yang juga teman saya di Facebook) mengomentari statusnya.
Statusnya dalam Bahasa Sunda. Jika dalam Bahasa Indonesia, seperti ini
kata-katanya:
“Ih, stres lu nggak ilang-ilang yah? Lu kan jomblo, ngapain coba
hampir tiap jam bikin status mesra atau status galau yang isinya kayak lu punya
pacar?”
Ahahahaha... bah, ternyata dia jomblo! Sarap! Tragis amat, bikin
status-status kayak gitu cuma biar disangka punya pacar...