Pages

Ads 468x60px

Anti-Kemapanan? Omong Kosong!

Saya adalah penggemar berat musik punk. Benar-benar fanatik, sehingga bisa dibilang saya hampir tidak mengikuti perkembangan musik lain. Namun, meski begitu, saya bukanlah penganut anti-kemapanan. Padahal, bisa dibilang, anti-kemapanan adalah ideologi utama anak-anak punk.

Tidak hanya itu. Saya juga bahkan tidak suka dengan orang yang menggembor-gemborkan dirinya sebagai anti-kemapanan. Masalahnya, anti-kemapanan di zaman sekarang? Emang ada?

Sepanjang pengamatan saya, hanya ada dua jenis “anak punk” yang (masih) menerapkan ideologi ini. Jenis pertama, orang yang hidupnya memang jauh dari kata mapan. Jenis ini biasanya didominasi oleh anak-anak jalanan.

Beberapa tahun lalu, saya sempat ngobrol dengan beberapa anak punk dari jenis ini.

Saya: “Sebenernya, apa sih cita-cita kalian?”
Anak Punk 1: “Pengen jadi konglomerat.”
Anak Punk 2: “Pengen jadi artis.”
Saya: “Loh, kok cita-citanya pengen jadi itu?”
Anak Punk 1: “Kan biar punya banyak duit.”
Anak Punk 2: “Iya, terus hidup kita juga nggak nelangsa kayak gini lagi.”

Oke, setelah percakapan tersebut, maka saya simpulkan kalau mereka bukannya memilih untuk menjadi anti-kemapanan, tapi hanya karena memang tidak sanggup untuk menjadi mapan.

Jenis kedua, orang mapan yang sok anti-kemapanan. Anak punk dari jenis ini biasanya berasal dari keluarga yang berkecukupan (menengah ke atas). Namun, mereka memutuskan untuk jadi anak punk yang “anti-kemapanan” disebabkan broken home atau karena memang kagum terhadap ideologi ini.

Masalahnya, anti-kemapanan yang mereka usung justru bertolak belakang dengan gaya hidupnya (minimal, dengan style-nya). Dulu saya pernah melihat band punk dalam negeri yang sering mengklaim sebagai anti-kemapanan (bagi yang suka atau ngaku sebagai anak punk, pasti tau band ini).

Namun, lihat pakaian mereka. Kaos oblong keluaran distro (yang saya rasa jauh dari kata lusuh), jaket dan celana (bahan denim/jeans atau bahkan kulit) yang ditempel duri-duri atau yang sengaja diberi tambalan (padahal nggak sobek, cuma pengen terkesan lusuh aja) serta sepatu bot dengan merk cukup terkenal. Style seperti ini cukup banyak dipakai oleh anak-anak punk yang (ngaku-ngaku) sebagai anti-kemapanan.

Gara-gara penasaran, maka saya pun iseng-iseng mencari tau, berapa sebenarnya harga barang-barang itu (ini harga pas saya liat 2010 lalu):

Kaos distro: Paling murah, Rp50.000
Jaket kulit (bekas): Paling murah, Rp270.000
Jaket jeans (bekas): Paling murah, Rp30.000
Celana kulit (bekas): Paling murah, Rp195.000
Celana jeans (bekas): Paling murah, Rp20.000
Sepatu bot merk terkenal (bekas): Paling murah, Rp230.000
Total: Sekitar Rp330.000 - Rp745.000 (belum termasuk biaya membeli spike besi yang ditempel di jaket, kalung rantai dan sabuk berduri)

Hmmm... sanggup membeli pakaian seharga itu disebut anti-kemapanan? Padahal, bahkan saya aja yang nggak pernah ngaku-ngaku sebagai anti-kemapanan, seringkali nggak sanggup buat beli pakaian semahal itu.

Parahnya, dilihat dari sejarah pembentukannya, ternyata yang pertama kali membuat distro adalah anak-anak underground (termasuk punk). Tujuan awalnya sih untuk memasarkan lagu (milik mereka sendiri), pakaian, buku dan majalah yang berbau underground. Tapi lihat sekarang, seperti apa distro-distro itu? Harga barang-barang yang dijualnya... asli mahal! Yah, para pemuja anti-kemapanan itu pun berganti menjadi pendukung kapitalisme.

Pada dasarnya, ada berbagai pendapat mengenai definisi anti-kemapanan ini. Salah satunya adalah Anti-kemapanan berarti bisa menghidupi diri sendiri dengan cara kita sendiri”. Namun, saya rasa, definisi ini terlalu dibuat-buat. Ini tidak cocok dengan sejarahnya. Jika definisi ini diterima, berarti para kapitalis juga bisa disebut anti-kemapanan. Toh mereka juga menghidupi diri sendiri (dan keluarganya) dengan caranya sendiri.

Maka, saya pun berani berkata, anti-kemapanan pada zaman sekarang hanyalah omong kosong.