Pages

Ads 468x60px

Me vs The Traffic Cop

Entah kenapa, saya sering sekali terlibat masalah dengan polisi, khususnya polisi lalu lintas. Saking seringnya, saya sempat curiga, jangan-jangan para polisi itu cinta ama saya.Salah satu contoh kasusnya terjadi hari ini, di Jl. Moh Toha Bandung, tepat setelah perempatan Jl. Inggit Garnasih, beberapa ratus meter sebelum ITC Kebon Kalapa.

Pada dasarnya, saya bukan orang yang suka melawan jika memang kesalahan ada pada pihak saya. Masalahnya, seringkali kesalahan itu seperti yang sengaja dibuat-buat oleh polisi itu. Saya ingat sekali, dulu saat masih mengendarai Si Mio yang kini telah lenyap digondol maling saya pernah kena razia dan tilang. Alasannya lucu, gara-gara penutup pentil ban motor saya nggak ada. Pelanggaran yang aneh.

Itu kejadian beberapa tahun lalu. Sedangkan tadi, si polisi lalu lintas menyatakan saya melakukan “pelanggaran” karena tidak menyalakan lampu utama di siang hari. Terlalu mengada-ada sebenarnya. Masalahnya, sejak menggunakan si Fit X, saya tak pernah mematikan lampu utama motor, baik siang atau pun malam.

Setelah diusut, ternyata itu gara-gara lampu utama saya mati, jadi sama sekali tidak menyorot dan lebih mirip lampu senja. Namun, saya tidak mau menyerah begitu saja. Toh matinya lampu utama motor saya bukan karena kesengajaan.

Polisi 1: “Ini itu lampu senja! Kamu tau nggak sih bedanya lampu utama ama senja?!”
Saya: “Taulah! Tapi liat dong tombol pengatur lampunya, itu jelas-jelas lampu utamanya dinyalain! Masalahnya, emang gara-gara mati aja lampu sorotnya.”
Polisi 1: “Nggak pake alasan! Pokoknya kamu melanggar aturan!”
Saya: “Aturan mana? Saya jelas-jelas sudah menyalakan lampu utama. Liat aja itu tombolnya!”
Polisi 1 (mulai nyolot): “Pokoknya kamu ditilang!”
Saya: “Nggak bisa gitu dong! Jadi polisi tuh jangan sewenang-wenang! Jangan selalu mengada-ada dan mencari-cari kesalahan orang lain! Bapak ngotot nilang saya gara-gara pengen dapet duit kan? Ngaku aja! Saya nggak mau damai!”
Polisi 1 (terus nyolot): “Jangan seenaknya ngomong! Mana buktinya! Kami, para polisi nggak nerima uang sogokan!”
Saya (sambil nunjuk ke depan): “Itu buktinya!”
Kebetulan, saat itu di depan saya ada sepasang kekasih yang kemungkinan besar sedang mengusahakan “jalan damai” dengan polisi lain. Selain pasangan kekasih tadi, nampak juga beberapa korban tilang lain yang nampak sedang bernegosiasi.

Wajah si polisi yang menilang saya jadi merah. Sedangkan saya tersenyum sinis, senyuman sinis penuh kemenangan.

Polisi 1 (nyolotnya jadi campur blingsatan, mungkin malu karena kata-kata saya tadi tepat sasaran): “Dengarkan saya! Itu bukan...”
Saya (motong omongan si polisi): “Dari tadi Bapak tuh selalu minta didenger, tapi nggak pernah mau denger penjelasan saya!”
Polisi 1 (pasang kuda-kuda, siap mukul): “Kamu nantang ama saya?!”
Saya (jadi ikutan emosi): “Kalo iya, kenapa?!”

Sayangnya, pertarungan ronde pertama antara saya melawan polisi nyolot gagal berlangsung karena keburu dipisahkan oleh seorang polisi lain. Sebut saja polisi 2 (saya lupa nggak merhatiin siapa nama-namanya).

Polisi 2: “Sudah woy! Nggak malu itu diliatin ama orang-orang?”

Ternyata, keributan tadi benar-benar menarik perhatian orang lain. Mereka nampak saling berbisik-bisik. Namun, lucunya, ada juga yang mengacungkan jempol sambil tersenyum kepada saya. Mungkin maksudnya: “Keren! Polisi kayak gitu emang harus dilawan!”

Polisi 2: “Kamu (nunjuk polisi 1)! Balik lagi aja ke jalan. Razia orang lain. Sedangkan kamu (nunjuk saya), ikut saya ke sana. Coba jelaskan kenapa keributan ini bisa terjadi.”
Saya (sambil menawarkan rokok): “Oke. Tapi mending sambil merokok. Saya masih emosi tingkat nasional nih. Rokok, Pak?”
Polisi 2 (ngambil rokok sebatang): “Oh, makasih.”

Saat itu, saya langsung bersyukur karena sebelumnya membeli rokok yang sedikit elit: rokok filter seharga 11 ribu per bungkus. Padahal biasanya kan saya beli rokok kretek yang harganya 5300 per bungkus. Kondisi tumben yang membawa berkah tuh. Masalahnya, kalo ditawarin rokok kretek murah, kayaknya itu polisi bakal nolak.

Setelah duduk dan sedikit berbasa-basi sambil merokok bareng, saya pun menjelaskan duduk permasalahannya. Mendengar penjelasan tersebut, si Polisi 2 langsung memeriksa kondisi motor saya.

Polisi 2: “Oh iya. Ternyata masalahnya emang gara-gara lampu sorotnya mati. Jadi meski menyalakan lampu utama, tapi keliatan kayak lampu senja.”
Saya: “Makanya, tadi saya udah jelasin itu sampe berbusa-busa, si polisi tadi nggak ngerti-ngerti. Malah nyolot.”
Polisi 2: “Ya sudah, kamu nggak jadi ditilang. Silakan lanjutkan perjalanan. Tapi, pesan saya, segera bawa motor kamu ke bengkel. Benerin itu lampu.”
Saya: “Oke, siap!”

Saya pun pergi dari tempat yang nyaris jadi lokasi pertumpahan darah tersebut. Sepanjang jalan, saya merenung. Ternyata, tidak semua polisi lalu lintas berkelakuan minus. Ada juga yang baik. Yah, meski mungkin nggak terlalu banyak...