Hari itu adalah hari terakhir saya Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di Desa Mekarmukti, Garut. Kebetulan, saya pulang ke Bandung dengan mengendarai motor teman sekelompok saya. Si pemilik motor, Gugum, lebih memilih naik elf (mikrolet). Katanya, kalau naik motor bakal capek di jalan. Wajar sih, perjalanan Mekarmukti-Bandung memang cukup jauh.
Ini bisa dibilang simbiosis mutualisme. Si Gugum nggak mau naek motor karena takut capek di jalan, dan saya nggak mau naek elf karena ada kemungkinan bakal mual. Kami pulang lewat jalur Lintas Selatan menuju Pameungpeuk.
Sebenarnya, dengan melalui jalur ini, jarak yang ditempuh jadi semakin jauh. Jika melalui jalur normal, lewat Bungbulang, jarak Mekarmukti-Bandung sekitar 180 km. Sedangkan jika melalui Pameungpeuk, jaraknya membengkak jadi sekitar 200 km. Kami memilih lewat Pameungpeuk, karena selain pemandangannya lebih indah (pantai selatan), jalannya pun jauh lebih bagus (jalan lewat Bungbulang benar-benar hancur).
Sekitar jam 12, kelompok KKM kami pun pulang ke Bandung. Saya naik motor sendirian, sementara 13 orang lainnya naik elf.
Jam 1, saya sampai Pemeungpeuk. Karena kebetulan ada beberapa teman yang tinggal di daerah ini, maka saya mampir untuk numpang shalat. Lumayan, pas pulang dikasih sebungkus rokok. Baru saja berjalan beberapa kilometer dari rumah teman, saya terjaring razia. Saya tidak khawatir sih, surat-surat lengkap kok.
Polisi: “Selamat siang. Bisa perlihatkan surat-suratnya? Adek dari mana yah? Kok barang bawaannya lumayan banyak gitu?”
Saya (sambil menunjukkan SIM dan STNK): “Saya baru pulang KKN, pak. Dari Mekarmukti. Ngomong-ngomong, suratnya lengkap kan? Bisa dibalikin? Saya nggak ngelanggar peraturan apa pun kok.”
Polisi (mengelilingi dan menilik-nilik motor yang saya pake): “Sebentar yah.”
Saya: “Nyari apaan sih, Pak? Spion ada kok. Knalpot juga dari pabrik. Terus lampu-lampu berfungsi semua.”
Polisi: “Ini kenapa plat nomor belakangnya bukan plat resmi dari Polri?”
Saya: “Emang harus yah?”
Polisi: “Itu wajib!”
Saya: “Lah, yang penting kan plat nomor depan resmi. Lagipula ini motor temen saya, bukan punya saya.”
Polisi: “Tapi tetap saja yang belakang ilegal. Kamu saya tilang yah!”
Saya: “Bentar, mana bukti kalo saya melanggar?”
Polisi: “Ada di undang-undang!”
Saya (ngotot): “Coba tunjukin undang-undangnya!”
Polisi (bales ngotot): “Tidak saya bawa, ada di kantor! Pokoknya kamu saya tilang!”
Saya: “Lucu, bukti undang-undangnya nggak ada, masih aja maksa buat nilang. Bapak tuh cuma nyari-nyari kesalahan orang lain.”
Polisi: “Susah yah ngomong ama kamu? Ya udah, kita damai saja. Gimana?”
Saya: “Nggak mau!”
Perdebatan pun terjadi. Kami sama-sama ngotot dan nggak mau kalah. Tapi, mengingat perjalanan saya masih panjang dan nggak mau sampai Bandung terlalu malam, saya pun menyerah dan menerima usulan damainya. Lagipula, nggak lucu juga kalau nanti harus jauh-jauh berangkat dari Bandung ke Garut hanya untuk sidang. Mana ini motor orang lain.
Saya: “OK lah kita damai aja. Tapi saya nggak punya duit. Gimana donk?”
Polisi: “Yang bener aja, kamu nerima damai tapi nggak punya duit?”
Saya: “Kan tadi udah dibilang, saya baru pulang KKN. Uangnya udah abis donk buat biaya hidup kemarin-kemarin.”
Polisi: “Ah, payah kamu! Ya sudah, kamu punya rokok nggak?”
Saya (ragu-ragu, tapi sambil ngeluarin rokok yang tadi dikasih temen): “Ada sih...”
Polisi (sambil ngerebut rokok dari tangan saya): “Saya ambil. Sudah, sekarang kamu pergi saja!”
Saya (panik campur kesal): “Bentar, Pak. Jangan diambil semua donk! Itu kan baru kepake sebatang! Nanti di Cikajang (tempat di antara Pameungpeuk dan Garut Kota) kan dingin banget! Emang bapak nggak kasian ama saya, kedinginan di Cikajang tanpa ada duit dan rokok?”
Polisi: “Aaaah, dasar kamu! Ya udah, ini lima batang buat kamu. Sisanya buat saya! Tau nggak, kamu tuh orang paling aneh yang pernah saya tilang!”
Saya (dalem hati): “Sama, Bapak juga polisi paling aneh yang pernah nilang saya.”
Kemudian, saya pun langsung pergi dari sana, dengan hati yang gondok. Sial, rokok yang asalnya masih sebelas batang, sekarang cuma nyisa lima. Setelah dipikir-pikir, saya langsung yakin, ini adalah karma perbuatan saya beberapa tahun lalu. Karma, karena dulu pernah mendapatkan sebungkus rokok dari hasil menipu polisi.