Pages

Ads 468x60px

Gagal Mendapat Beasiswa? Tidak Masalah….

Saya lahir dari keluarga yang sederhana. Hidup serba pas-pasan, bahkan acap kali kekurangan. Meski orang tua saya masih sanggup memberi makan layak, namun tak jarang mereka harus mengalami kesulitan keuangan yang serius.

Pada dasarnya, saya bersyukur karena setidaknya masih bisa mengenyam pendidikan, bahkan hingga menjadi mahasiswa. Namun saya sadar, untuk membiayai kuliah saya beserta adik, ayah dan ibu sering terpaksa pinjam sana-sini. Kondisi ini membuat saya prihatin. Itulah sebabnya, saya begitu ingin mendapatkan penghasilan sendiri. Saya ingin membantu meringankan beban mereka. Sayangnya, mencari pekerjaan paruh waktu tidaklah gampang.

Termotivasi oleh hal ini, maka saya pun menjadi seorang mahasiswa pemburu beasiswa. Ya, memang inilah satu-satunya jalan bagi saya untuk mendapatkan uang. Karena itu, tiap kali ada beasiswa, saya pasti akan ikut. Bagi sebagian besar mahasiswa seperti saya, mendapat beasiswa memang merupakan sebuah harapan. Beasiswa bisa berarti bentuk pengakuan dan penghargaan atas sebuah prestasi, sekaligus bantuan finansial yang sangat berarti.

Hingga sekarang, saya sudah dua kali mendaftarkan diri. Pertama, saat semester dua. Lalu yang kedua, saat semester tiga. Sayangnya, saya selalu gagal. Ada saja penyebab kegagalan ini. Saat semester dua, saya gagal karena pada hari terakhir pengumpulan persyaratan, saya sedang ikut pelatihan di luar kampus. Sedangkan saat semester tiga, kegagalannya akibat satu nilai mata kuliah di semester dua belum juga keluar. Padahal, salah satu syarat mengikuti beasiswa ini adalah menyerahkan transkrip nilai lengkap.

Namun, saya tidak menyerah. Kini, saat semester empat, saya kembali mengajukan beasiswa yang diselenggarakan pihak internal kampus. Jika berhasil mendapatkan beasiswa ini, saya akan memperoleh uang 1,2 juta rupiah. Jumlah tersebut tidaklah terlalu besar, namun sangat berarti bagi saya.

Ada dua jalur untuk mendapatkan beasiswa ini. Jalur prestasi dan tidak mampu. Saya mendaftar jalur prestasi, karena merasa nilai yang saya raih selama ini lumayan besar. Semester satu, indeks prestasi (IP) saya 3,67. Semester dua anjlok ke 3,33 dan semester tiga kembali turun ke 3,17. Memang terus turun, namun jika dikumulatifkan, IP saya selama tiga semester adalah 3,39. Lumayan.

Sebagai langkah pertama, saya harus melengkapi syarat administrasi. Syarat ini berupa transkrip nilai, resi pembayaran uang kuliah semester genap, dan surat keterangan berkelakuan baik. Paling lambat, seluruh persyaratan tersebut harus sudah diserahkan seminggu setelah pengajuan. Yah, bukan hal yang sulit. Saya bisa memenuhinya dalam beberapa hari.

Beberapa hari kemudian, informasi tentang siapa saja yang meraih beasiswa terpajang hampir seluruh penjuru kampus. Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu. Saya langsung melihat papan pengumuman di fakultas. Dengan teliti, saya baca nama-nama mahasiswa yang tercantum dalam daftar peraih beasiswa prestasi. Ternyata, nama saya tidak ada. Kurang yakin, saya baca sekali lagi. Tetap tidak ada. Saya hanya bisa tertegun, kecewa. Ini berarti kegagalan ketiga saya.

Saat hendak meninggalkan pengumuman, tanpa sengaja saya melihat sebuah keanehan dalam informasi tersebut. Ternyata nama saya tercantum di sana. Hanya saja, terletak dalam daftar peraih beasiswa tidak mampu. Apakah ada kesalahan penempatan?

Saya langsung mendatangi dosen yang dulu mengurus surat pengajuan beasiswa. Di sana, saya mempertanyakan kesalahan penempatan tersebut. Namun, jawaban dari dosen tersebut benar-benar di luar dugaan.

“Tidak ada yang salah. Memang seperti itu mekanismenya. Jatah beasiswa prestasi hanya sedikit. Jadi, bagi yang gagal mendapatkannya, akan dioper ke jalur tidak mampu. Itu sudah keputusan dari pihak atas,” kata sang dosen.

Hmmm, mekanisme pembagian beasiswa yang aneh. Kok bisa sih, mahasiswa yang gagal di jalur prestasi, masih tetap bisa mendapat beasiswa lewat jalur tidak mampu? Bukan masalah jika pada kenyataannya mahasiswa tersebut memang benar kurang mampu. Namun, bagaimana jadinya jika ia adalah seorang anak konglomerat? Apakah akan tetap diberi beasiswa tidak mampu? Padahal jika memang gagal, ya anggap saja gagal. Tidak perlu ada pengoperan seperti ini.

Masalahnya, mekanisme aneh ini membuat saya berada dalam posisi dilematis. Bagaimana tidak? Ada tambahan syarat bagi penerima beasiswa tidak mampu, yakni harus melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Di satu sisi, saya membutuhkan beasiswa tersebut. Di sisi lain, saya tidak merasa sebagai mahasiswa yang tidak mampu. Terlepas dari kesulitan keuangan yang menimpa orang tua, saya merasa tidak miskin-miskin amat, sehingga harus meminta SKTM ke kantor kelurahan.

Namun, rupanya saya tidak sendirian. Banyak pula mahasiswa lain yang sama-sama terlempar dari persaingan mendapatkan beasiswa prestasi, dan terpaksa mendapatkan beasiswa tidak mampu. Masalahnya, mayoritas dari kami, para mahasiswa yang “terlempar”, adalah orang yang mampu secara finansial. Maka, kami pun bingung harus bagaimana.

Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengambil beasiswa ini. Saya menyadari, masih banyak mahasiswa yang kondisi keuangannya mungkin lebih buruk dari keluarga saya. Jadi, saya tidak mau merebut hak mahasiswa yang lebih membutuhkan uang beasiswa tersebut.

Sayangnya, keputusan saya ternyata tidak diikuti kebanyakan mahasiswa yang sama-sama “terlempar”. Mereka ngotot ingin mendapatkan beasiswa tersebut. Hingga kemudian, berbagai cara mereka tempuh untuk mendapatkan SKTM, termasuk dengan cara yang ilegal. Ada yang merendahkan harga diri dan berpura-pura miskin di hadapan pihak RT, RW dan kelurahan. Tak lupa, mereka pun memberi uang pelicin agar SKTM tersebut bisa didapatkan.

Bahkan, hingga ada yang bertindak lebih parah: memalsukan dokumen. Membuat SKTM secara swadaya memang bukan hal yang sulit. Formulirnya tinggal meniru dari yang sudah ada. Tanda tangan? Gampang, tanda tangan palsu saja. Stempel kelurahan sebagai bukti legalisir pun bisa dibuat dengan mudah. Banyak tukang stempel yang tersebar. Kalaupun tidak mau mengeluarkan modal besar, tinggal scan saja stempel dari SKTM orang lain.

Kelakuan mereka ini membuat saya kesal. Mengapa mereka tidak peduli dengan nasib orang yang lebih berhak? Saya masih ingat dengan nasib seorang teman yang tahun lalu terpaksa harus cuti. Ia cuti karena tidak memiliki biaya. Jadi, ia bekerja keras selama satu semester untuk mengumpulkan biaya kuliah semester selanjutnya. Nah, seharusnya mahasiswa seperti itulah yang mendapat beasiswa tidak mampu. Bukan saya. Bukan pula para mahasiswa “terlempar” lain, yang ingin beasiswa hanya untuk berfoya-foya.

Beasiswa pun cair beberapa minggu kemudian. Berbagai kertas pengumuman ditempel di seluruh penjuru kampus. Di sana tertulis bagaimana mekanisme pengambilan uangnya. Selain itu, tertulis pula informasi mengenai siapa saja peraih beasiswa ini.

Anehnya, meski tidak jadi mengambil, namun nama saya tetap tercantum dalam daftar. Untuk memperjelas masalah ini, maka saya pun memutuskan untuk mendatangi kantor di gedung rektorat yang mengurusi masalah beasiswa. Di sana, saya bertemu kepala bagiannya. Seorang ibu yang usianya sekitar lima puluhan.

“Bu, nama saya kok tercantum dalam penerima beasiswa?”

“Oh ya? Siapa nama kamu?”

“Fikri. Fikri Fauzan Hasan, jurusan Jurnalistik.”

Ibu tersebut langsung membuka sebuah arsip tebal dan mulai memeriksa daftar. “Hmmm, kamu memang terdaftar sebagai penerima beasiswa. Tapi persyaratannya belum lengkap. Kamu belum melampirkan SKTM, kan?”

“Bagaimana kalau saya tidak mau melampirkan SKTM?”

“Ya nggak dapet.”

“Kalau begitu, coret saja nama saya daftar penerima. Saya kan bukan mahasiswa tidak mampu, jadi tidak mungkin melampirkan SKTM,” tegasku.

Mendengar jawabanku tersebut, entah mengapa tiba-tiba saja ibu itu sewot. Ia langsung menghardikku. “Sombong sekali kamu! Kalau nggak mau nerima, ya sudah. Saya akan coret nama kamu! Rezeki kok ditolak,” katanya.

Saya terdiam sesaat. Aneh juga, kok tiba-tiba dia marah? Memangnya ada yang salah dengan ucapan saya tadi? Maka, saya pun menjawab, “Saya bukannya sombong. Saya hanya tidak mau merendahkan diri sendiri dan keluarga untuk urusan seperti ini. Selain itu, saya juga tidak mau mengambil hak orang lain yang lebih membutuhkan. Ibu boleh menyebut saya sombong, namun setidaknya saya bukanlah pembohong.”

Ibu tersebut tak mampu menjawab. Maka saya pun langsung keluar dari ruangan itu, diiringi tatapan puluhan mata yang seakan menganggap saya makhluk aneh. Dasar, hanya karena persoalan sepele seperti ini, saya sampai harus adu urat syaraf melawan ibu-ibu. Saya heran, mengapa begitu sulit menjalankan kebenaran? Mengapa jalan untuk melakukan keburukan begitu mudahnya terbentang?

Sebenarnya, saya merasa kecewa tidak mendapatkan beasiswa tersebut. Sekali lagi, saya gagal. Namun, sudahlah. Mungkin memang bukan rezeki. Sekarang, lebih baik saya mencari jalan lain untuk mendapatkan uang. Hmmm, bagaimana caranya ya? Oh iya, saya akan menulis! Saya kan mahasiswa jurnalistik, jadi setidaknya bisa menulis sedikit-sedikit. Semoga saja tulisan saya bisa dimuat di koran atau majalah, jadi saya bisa mendapat honor.

Baiklah, itulah keputusannya. Mari menulis! Akan saya buktikan pada orang-orang, jika saya bisa menghasilkan uang dan membantu orang tua tanpa harus mengemis untuk mendapatkan beasiswa. Tanpa harus menjual harga diri hanya demi uang 1,2 juta rupiah.