Pages

Ads 468x60px

Mimpi Bertemu W.R. Supratman...

Gara-gara beberapa hari yang lalu bertemu anak SMP yang lupa judul lagu kebangsaan Indonesia, tadi malam saya jadi bermimpi buruk bertemu dengan (arwah?) Wage Rudolf Supratman. Di mimpi tersebut, saya melihat W.R. Supratman sedang murung. Maka, saya pun menghampirinya...

Saya: “Kenapa wajah kamu murung begitu?”
W.R. Supratman: “Saya sedang kesal, sekaligus sedih.”
Saya: “Kenapa?”

Sayangnya, mimpi tersebut berakhir sampai situ akibat saya keburu terbangun oleh bunyi alarm HP jadul saya. Dasar sial, pendek amat ini mimpi. Kenapa mimpinya nggak sepanjang sinetron Cinta Fitri yang sampai tujuh session dan ratusan episode sih? Saya kan pengen tau lanjutan mimpi itu. Penasaran, kenapa W.R. Supratman kesal dan sedih.

Saya pun mencoba tidur lagi. Namun sayang, mimpinya bukan sambungan mimpi barusan. Sial, ternyata itu mimpi nggak ada episode keduanya. Benar-benar tamat di edisi pertama, dalam kondisi cerita yang menggantung nggak jelas.

Maka dengan sangat terpaksa, saya mengkhayalkan sendiri lanjutan mimpi itu. Yah, daripada penasaran. Seperti ini khayalannya...

***

Ternyata, sebelum bertemu dengan saya, W.R. Supratman sempat bertemu dengan anak SMP yang lupa judul lagu kebangsaan Indonesia itu. Mereka pun sempat berinteraksi:

Anak SMP (ketakutan melihat arwah W.R. Supratman): “Ssss... sss... sssiapa kamu?”
W.R. Supratman: “Saya Wage Rudolf Supratman.”
Anak SMP (masih ketakutan): “Wage Rudolf Supratman? Saya nggak kenal ama kamu!”
W.R. Supratman: “Kamu benar-benar nggak tau siapa saya?”
Anak SMP: “Mana saya tau! Kita kan belum kenalan. Emang kamu siapa?”
W.R. Supratman: “Saya pencipta national anthem Indonesia.”
Anak SMP: “Pencipta national anthem Indonesia? Ngarang! Jangan ngaku-ngaku deh!”
W.R. Supratman: “Loh, bener kok. Emang siapa yang menurut kamu menciptakan national anthem Indonesia?”
Anak SMP: “Netral.”

***

Itulah khayalan ngaco saya tentang penyebab kesal dan sedihnya W.R. Supratman. Setelah mengkhayalkan itu, saya mendadak teringat perkataan Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”. Yah, mungkin inilah sebabnya prestasi Indonesia tak pernah lebih dari sekadar “negara berkembang”. Bagaimana mau maju, toh generasi muda bangsa ini saja tak pernah bisa menghargai para pahlawannya.