Kemarin, sepulangnya belanja tinta untuk printer, saya mendengarkan suatu percakapan menarik di angkot yang saya tumpangi. Percakapan ini dilakukan oleh tiga anak SMP, dua cewek dan satu cowok.
Cowok: “Keren yah Timnas (sepakbola) U-23. Maennya bagus. Meski kemarin kalah lawan Malaysia, tapi gue yakin timnas bakal juara!”
Cewek 1: “Iya bener, emang keren! Tapi nggak cuma timnas bola doank, cabang olahraga lain juga nggak kalah keren!”
Cowok: “Bener, bener. Perolehan medali Indonesia juga sekarang yang paling tinggi kan? Udah berapa sih?”
Cewek 2: “Medali emasnya udah 112 kalo nggak salah. Jauh ninggalin yang posisi dua tuh. Yang keduanya baru 66 medali emas. Cool!”
Cowok: “Harus kita dukung terus tuh!”
Cewek 1: “Setuju! Mumpung lagi Sea Games, jadi kita wajib nunjukin nasionalisme kita.”
Sebenarnya, saya ingin sekali nyeletuk: “Mumpung lagi Sea Games? Dulu-dulu, pas nggak ada event olahraga internasional, nasionalisme kalian dikemanain?”. Tapi karena males debat ama bocah, maka celetukan itu saya tahan.
Namun, tiba-tiba seorang bapak (umurnya sekitar tiga puluhan) ikut nimbrung pada percakapan mereka. Mungkin dia tertarik (seperti saya) dan penasaran pada anak-anak SMP itu.
Bapak: “Kalian cinta sekali ama Indonesia yah?”
Cowok: “Iya donk, Pak. Itu kan kewajiban kita!”
Bapak: “Hmmm... bagus. Nah, kalian kan para nasionalis muda yang sangat cinta negeri ini. Sekarang, tau nggak apa judul national anthem atau lagu kebangsaan Indonesia?”
Saya (mikir dalam hati): “Ceilah, pertanyaannya gampang amat. Anak SD juga tau kali.”
Cewek 2: “Tau dong. Garuda di Dadaku, kan?”