Pages

Ads 468x60px

Curhat: Antara Freelancer dan Pernikahan

Saya pernah membaca di sebuah situs berita, saat ini tidak sedikit orang yang meninggalkan pekerjaan lamanya untuk merintis karier menjadi freelancer. Buat saya, ini merupakan fenomena yang agak mengherankan. Kok mau yah meninggalkan posisi tetapnya demi jadi pekerja lepas? Namun, meski heran, rasanya tetap bisa saya pahami.

Ya, saya memang paham. Soalnya, ada banyak keuntungan yang bisa didapat oleh seorang freelancer. Keuntungan yang tidak bisa didapatkan oleh kebanyakan profesi lain. Salah satunya, adanya fleksibilitas waktu dan tempat untuk menyelesaikan proyek pekerjaannya. Profesi ini terlihat begitu mudah dilakukan. Kita bisa jadi bos bagi diri sendiri, memiliki kebebasan untuk bekerja dengan cara apapun dari berbagai tempat.

Maka bukan hal yang aneh jika makin ke sini, jumlah freelancer makin banyak. Banyak pekerja kreatif maupun bidang lain yang memutuskan menjadi freelancer daripada terikat dalam satu perusahaan. Apalagi, peluang pekerjaan sebagai freelancer sangatlah besar, apalagi di zaman yang serba online ini. Tiap hari, ada ribuan orang yang membutuhkan freelancer. Mulai dari freelance untuk menulis, hingga untuk membuat desain. Nah, saya adalah salah satu orang yang memilih pekerjaan ini.

Biasanya saya mengambil tiga jenis freelance job: membuat desain, menulis, serta menjadi admin sosial media dan website. Mau bagaimana lagi, hanya ketiga hal itu yang sanggup saya lakukan. Itu pun tidak rutin saya kerjakan. Seringkali dalam sebulan, saya hanya mengerjakan satu di antaranya.

Pada dasarnya saya sangat menyukai pekerjaan ini. Masalahnya, masih banyak orang—termasuk orang tua saya— yang menganggap freelancer bukanlah suatu pekerjaan. Apalagi jika praktek freelance-nya dilakukan secara online, jelas bakal disebut pengangguran antisosial, yang kerjanya hanya terus mengurung diri di kamar.

Hal ini diperparah dengan penghasilan sebagai freelancer benar-benar fluktuatif. Tidak stabil. Kadang benar-benar makmur, dengan mendapat total penghasilan per bulan yang jauh lebih besar ketimbang manajer sebuah kantor sekalipun. Namun lebih sering berakhir tragis, mendapat penghasilan yang untuk hanya cukup untuk beberapa hari. Ujung-ujungnya, tabungan yang merupakan sisa-sisa kemakmuran di masa lalu harus dikuras. So tragic. The wheel of life is always spinning, eh?

Kondisi makin rumit, karena saya memiliki sebuah harapan untuk segera menikah. Harapan indah yang sangat mahal. Butuh biaya besar. Bukan hanya soal resepsinya (yang sebenarnya tidak pernah saya pikirkan), namun lebih ke soal kehidupan pascapernikahannya. Dengan penghasilan yang fluktuatif seperti sekarang, apakah nanti saya akan sanggup menghidupi istri?

Saya sering berpikir untuk tetap nekat menikah meski dengan kondisi seperti ini. Saya bahkan sudah memiliki beberapa alasan kuat. Jika ada yang bertanya "Mau ngasih makan apa? Makan cinta?", saya akan menjawab "Cinta memang tidak bisa dimakan. Tapi cinta bisa membuat saya lebih bertanggung jawab. Membuat saya lebih bertekad untuk bekerja keras agar bisa menghidupi orang yang sangat saya cintai".

Ah, benar-benar alasan gombal yang sangat keren, bukan?

Lagipula, bukankah rezeki sudah ada yang mengatur? Meski secara matematis penghasilan saya dan calon istri sangat minim, namun saya selalu yakin jika perhitungan matematis tidak akan sama dengan perhitungan Tuhan.

Sayangnya alasan saja—tak peduli sekeren apapun itu— tidak akan cukup untuk meyakinkan orang tua saya dan orang tua calon istri saya. Seperti kebanyakan orang yang berpikir secara konvensional lainnya, mereka menuntut saya memiliki penghasilan tetap. Tidak perlu berjumlah besar, yang penting penghasilan tetap yang cukup untuk biaya hidup berdua selama sebulan, serta jika bisa, ada sedikit sisa untuk menabung.

Tuntutan yang tidak terlalu muluk sebenarnya, tapi tetap saja sulit dijalankan. Penghasilan tetap hanya bisa didapatkan oleh pegawai. Bagi seorang freelancer (dan juga enterpreneur kecil-kecilan) seperti saya, penghasilan tetap hanyalah mimpi. Tiap bulan, penghasilan tak akan pernah sama.

Pada akhirnya, saya hanya bisa terus berusaha dan berdoa. Saya tak akan menyerah, bahkan meski saat ini saya hanya mampu sebatas membuat perencanaan. Saya tetap berharap target menikah di tanggal yang sudah ditentukan bisa tercapai.

Wait a minute... tanggal yang sudah ditentukan?

Ah, ya, tanggalnya memang sudah ditentukan. Hanya tinggal usaha untuk merealisaikannya....