Saya pernah membaca di sebuah situs berita, saat ini
tidak sedikit orang yang meninggalkan pekerjaan lamanya untuk merintis karier
menjadi freelancer. Buat saya,
ini merupakan fenomena yang agak mengherankan. Kok mau yah meninggalkan posisi
tetapnya demi jadi pekerja lepas? Namun, meski heran, rasanya tetap bisa saya
pahami.
Ya, saya memang paham. Soalnya, ada banyak keuntungan yang bisa didapat oleh
seorang freelancer. Keuntungan yang
tidak bisa didapatkan oleh kebanyakan profesi lain. Salah satunya, adanya
fleksibilitas waktu dan tempat untuk menyelesaikan proyek pekerjaannya. Profesi
ini terlihat begitu mudah
dilakukan. Kita bisa jadi bos bagi diri sendiri, memiliki kebebasan untuk
bekerja dengan cara apapun dari berbagai tempat.
Maka bukan hal yang aneh jika makin ke sini, jumlah freelancer makin banyak. Banyak pekerja kreatif maupun bidang lain yang
memutuskan menjadi freelancer daripada terikat dalam satu perusahaan. Apalagi,
peluang pekerjaan sebagai freelancer
sangatlah besar, apalagi di zaman yang serba online ini. Tiap hari, ada ribuan orang yang membutuhkan freelancer. Mulai dari freelance untuk menulis, hingga untuk
membuat desain. Nah, saya adalah salah satu orang yang memilih pekerjaan ini.
Biasanya saya mengambil tiga jenis freelance job: membuat desain, menulis, serta menjadi admin sosial
media dan website. Mau bagaimana
lagi, hanya ketiga hal itu yang sanggup saya lakukan. Itu pun tidak rutin saya
kerjakan. Seringkali dalam sebulan, saya hanya mengerjakan satu di antaranya.
Pada dasarnya saya sangat menyukai pekerjaan ini. Masalahnya,
masih banyak orang—termasuk orang tua saya— yang menganggap freelancer bukanlah suatu pekerjaan. Apalagi
jika praktek freelance-nya dilakukan
secara online, jelas bakal disebut
pengangguran antisosial, yang kerjanya hanya terus mengurung diri di kamar.
Hal ini diperparah dengan penghasilan sebagai freelancer benar-benar fluktuatif. Tidak
stabil. Kadang benar-benar makmur, dengan mendapat total penghasilan per bulan yang
jauh lebih besar ketimbang manajer sebuah kantor sekalipun. Namun lebih sering
berakhir tragis, mendapat penghasilan yang untuk hanya cukup untuk beberapa
hari. Ujung-ujungnya, tabungan yang merupakan sisa-sisa kemakmuran di masa lalu
harus dikuras. So tragic. The wheel of life is always spinning, eh?
Kondisi makin rumit, karena saya memiliki sebuah harapan
untuk segera menikah. Harapan indah yang sangat mahal. Butuh biaya besar. Bukan
hanya soal resepsinya (yang sebenarnya tidak pernah saya pikirkan), namun lebih
ke soal kehidupan pascapernikahannya. Dengan penghasilan yang fluktuatif
seperti sekarang, apakah nanti saya akan sanggup menghidupi istri?
Saya sering berpikir untuk tetap nekat menikah meski
dengan kondisi seperti ini. Saya bahkan sudah memiliki beberapa alasan kuat. Jika
ada yang bertanya "Mau ngasih makan
apa? Makan cinta?", saya akan menjawab "Cinta memang tidak bisa dimakan. Tapi cinta bisa membuat saya
lebih bertanggung jawab. Membuat saya lebih bertekad untuk bekerja keras agar
bisa menghidupi orang yang sangat saya cintai".
Ah, benar-benar alasan gombal yang sangat keren, bukan?
Lagipula, bukankah rezeki sudah ada yang mengatur? Meski
secara matematis penghasilan saya dan calon istri sangat minim, namun saya
selalu yakin jika perhitungan matematis tidak akan sama dengan perhitungan
Tuhan.
Sayangnya alasan saja—tak peduli sekeren apapun itu—
tidak akan cukup untuk meyakinkan orang tua saya dan orang tua calon istri
saya. Seperti kebanyakan orang yang berpikir secara konvensional lainnya,
mereka menuntut saya memiliki penghasilan tetap. Tidak perlu berjumlah besar,
yang penting penghasilan tetap yang cukup untuk biaya hidup berdua selama
sebulan, serta jika bisa, ada sedikit sisa untuk menabung.
Tuntutan yang tidak terlalu muluk sebenarnya, tapi tetap
saja sulit dijalankan. Penghasilan tetap hanya bisa didapatkan oleh pegawai. Bagi
seorang freelancer (dan juga enterpreneur kecil-kecilan) seperti
saya, penghasilan tetap hanyalah mimpi. Tiap bulan, penghasilan tak akan pernah
sama.
Pada akhirnya, saya hanya bisa terus berusaha dan
berdoa. Saya tak akan menyerah, bahkan meski saat ini saya hanya mampu sebatas
membuat perencanaan. Saya tetap berharap target menikah di tanggal yang sudah
ditentukan bisa tercapai.
Wait a minute... tanggal yang sudah ditentukan?
Ah, ya, tanggalnya memang sudah ditentukan. Hanya
tinggal usaha untuk merealisaikannya....