Diego Moreno Mendieta, seorang pemain sepakbola asal Paraguay yang
bermain di Liga Indonesia, terpaksa harus menunggak pembayaran uang kosnya
karena gajinya selama empat bulan belum juga dibayar. Tragisnya,ia pun kesulitan
memperpanjang Visa dan KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara), karena tidak mampu
membayar perpanjangannya.
Pekan lalu, Diego dilarikan ke RS Dr Muwardi Solo. Dia mengeluh tidak
enak badan, kepala pusing, dan sering muntah. Dari hasil pemeriksaan, pemain
kelahiran 13 Juni 1980 itu terserang virus. Parahnya penyakit yang ia derita,
ditambah dengan tekanan psikis akibat tidak ditemani keluarga serta tidak
adanya dana untuk membayar biaya pengobatan, membuat kondisinya makin lemah.
Itu bukan kali pertama Diego masuk rumah sakit. Dia sebelumnya juga
pernah diopname di RS Islam Surakarta Yarsis dan RS PKU Muhammadiyah. Tapi, dia
terpaksa pulang karena tak bisa membayar biaya perawatan.
Setelah beberapa hari dirawat, jiwanya tak mampu diselamatkan. Dia
meninggal jauh dari kampung halaman. Sendirian... meninggalkan utang dan tiga
orang anak yang masih kecil.
Ironisnya, tanggung jawab dan empati baru bermunculan setelah kematian
Mendieta. Manajemen Persis Solo, tim yang dibela Mendieta, langsung berjanji
melunasi gajinya. PT Liga Indonesia, yang berada di bawah naungan KPSI pun
langsung mengucapkan bela sungkawa dan keprihatinan. Masalahnya, di mana mereka
saat Mendieta sakit? Kenapa baru sekarang menunjukkan “kepedulian”?
***
Siapa yang harus disalahkan atas peristiwa menyedihkan ini? Apakah Persis
Solo, yang bertanggung jawab atas kemandekan gajinya? Jelas, ya. Namun, apakah
kesalahan ini hanya layak ditimpakan pada Persis Solo? Tentu saja tidak! Bagi
saya, semua pihak bersalah, termasuk PSSI-nya Djohar Arifin, atau KPSI-nya La
Nyalla Matalliti. Gara-gara merekalah, hal ini sampai bisa terjadi.
Bagaimanapun juga, kematian tragis Mendieta ini erat kaitannya dengan
konflik elit yang menyebabkan munculnya dualisme kepemimpinan sepak bola
Indonesia: PSSI dan KPSI. Dualisme kepemimpinan inilah yang melahirkan dua
kompetisi sampai dualisme klub, tak terkecuali dualisme Persis Solo yang
menjadi tempat bermain Mendieta.
Semuanya bobrok. PSSI, yang katanya organisasi resmi yang diakui FIFA,
tidak bisa bekerja dengan benar. Jangankan memajukan persepakbolaan Indonesia,
untuk menghindarkan dualisme kepemimpinan saja tidak becus! KPSI juga sama
saja. Sering jadi provokator. Klub-klub yang bernaung di bawahnya bahkan sampai
melarang pemain masuk timnas. Sampah semua! Semuanya brengsek! Semuanya egois!
Hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing, tanpa
pernah peduli pada kemajuan sepakbola Indonesia!
Ah... saya benar-benar berharap FIFA dan AFC memberi sanksi yang
benar-benar berat pada Indonesia. Sanksi berupa pembubaran PSSI dan KPSI, dan
juga pelarangan bagi timnas dan seluruh klub di Liga Indonesia untuk bermain di
ajang internasional. Sanksi selama tiga, atau bahkan lima tahun. Rasanya itu hukuman
yang benar-benar pantas.
Mengapa saya sampai punya harapan seperti ini? Apakah saya tidak
memiliki nasionalisme? Bukan. Tentu bukan seperti itu. Saya hanya berpikir, Indonesia
harus diberi waktu untuk membenahi persepakbolaannya. Mulai dari masalah
manajemen klub dan organisasi, profesionalisme klub dan pemain, hingga masalah
tingkah para supporter yang sering sok jadi hooligan. Pembenahan ini
tidak mungkin berhasil hanya dalam waktu yang sedikit. Butuh waktu
bertahun-tahun. Inilah sebabnya saya berharap seperti itu.
Ini sanksi yang kejam?
Tanyakan pada pemain timnas yang bermain di Piala AFF kemarin, bagaimanakah
kekejaman itu. Mereka sudah mencoba bermain sebaik mungkin. Bekerja keras demi
nama baik negara. Mereka bukan pemain bermental tempe yang berasal dari klub
sampah, yang malah memboikot timnas. Namun, apa yang mereka dapat dari hasil
kerja keras mereka? Cacian. Ironisnya, cacian itu malah berasal dari para supporter
pemain dan klub yang membangkang dari panggilan timnas.
Tanyakan pula pada ketiga anak Diego Mendieta, apa artinya kejam?!
Hanya gara-gara sifat egois dan tindakan brengsek, mereka harus kehilangan sosok
seorang ayah! Ah... semoga istri dan anak-anak Mendieta mau memaafkan
Indonesia, atas perlakuan buruk terhadapnya....
***
Orang Indonesia selalu mencaci Malaysia atas buruknya perlakuan
terhadap para TKI. Namun, di sisi lain, ternyata orang Indonesia pun malah
memperlakukan warga negara asing yang mencari nafkah di sini dengan sangat buruk.
Paradoks....