Beberapa hari yang lalu, teman saya curhat tentang hasil liputannya yang tidak dimuat di koran tempat dia bekerja. Dia meliput berita tentang masalah antara sebuah provider telepon selular dengan para pekerjanya.
Teman: “Kesel banget, Ki. Padahal gue udah mati-matian liputan itu, sampe nyamar sebagai customer.”
Saya: “Emang apa alasannya sampe ditolak gitu? Tulisan lu jelek kali, jadi ditolak. Hehehe...”
Teman: “Sialan! Bukan itu. Pemimpin redaksi gue bilang, data yang gue ambil nggak valid.”
Saya: “Mana hasil liputannya? Gue pengen liat, dong.”
Teman saya itu pun memberikan hasil liputannya. Setelah saya perhatikan, data-datanya malah sangat lengkap, dari narasumber yang kredibel.
Saya: “Lah, datanya lengkap dan terpercaya gini, apanya yang nggak valid?”
Teman: “Justru itulah. Makanya gue kesel. Busuk, itu sih cuma alesan doang!”
Saya: “Terus, lu tau nggak alesan sebenernya ditolak tuh apaan?”
Teman: “Iya, tau. Gue baru nyadar tadi pagi.”
Saya: “Emang apa alesannya?”
Teman (sambil ngasih koran produk tempat kerjanya): “Nih, liat aja sendiri!”
Awalnya, saya tidak terlalu paham apa maksudnya sampe menyerahkan koran tersebut. Hingga saat saya membuka halaman kelima, baru saya sadar alasannya kenapa hasil liputan teman saya ini ditolak oleh pemimpin redaksinya.
Saya: “Buset, ni iklan provider sampe sehalaman full gini. Berapa ratus juta nih sekali ngiklan? Pantesan aja hasil liputan lu ditolak. Provider ini sumber duit buat tempat kerja lu sih, jadi mana mau koran lu ngeberitain hal-hal jelek tentang provider ini.”
Teman: “Iya. Nyebelin, yah? Zaman sekarang, fakta bisa dengan gampang disembunyiin pake duit.”
Saya: “Mau gimana lagi. Emang gitu keadaannya. Sekarang, berita (yang sering disebut fakta) bisa dengan gampang diotak-atik oleh pemilik media itu (owner) ama oleh iklan.”
Teman: “Oh, kasusnya kayak beberapa stasiun TV yang nggak pernah ngeberitain tentang masalah Lapindo itu yah?”
Saya: “Iya. Pemilik Lapindo kan pemilik TV itu juga. Jadi, mana mau mereka memberitakan kebobrokan perusahaan milik owner-nya sendiri. Hehehe...”
Percakapan ini membuat saya ingat sebuah pemberitaan di sebuah stasiun TV. Beberapa bulan lalu, saya menonton sebuah berita olah raga di salah satu stasiun TV swasta terkait kisruh antara Indonesia Super League (ISL) dengan Liga Primer Indonesia (LPI). Satu hal yang menarik perhatian, stasiun TV tersebut terus mengagung-agungkan ISL dan menyebut LPI sebagai liga ilegal.
Meski sejujurnya saya tidak terlalu suka dengan istilah “liga ilegal” tersebut (yang saya rasa terlalu tendensius), namun saya masih bisa memakluminya. Bagaimana pun, saat itu LPI memang tidak diakui PSSI sebagai liga yang sah. Di samping itu, mungkin stasiun TV tersebut merasa terancam, karena toh mereka adalah stasiun TV resmi yang memiliki hak siar ISL sebagai liga resmi dari PSSI.
Kini, kondisinya berbalik. Liga yang diakui PSSI adalah Indonesia Premier League (IPL). Sedangkan ISL dianggap tidak sah (ilegal). Namun, apa yang disebutkan oleh berita-berita di stasiun TV tersebut? IPL sama sekali tidak pernah disebut-sebut. Sedangkan ISL, yang secara statuta tidaklah sah, disebut sebagai “Liga Terbaik di Indonesia”. Lah, apa kabar dengan “Liga Ilegal”?
Dasar sarap, mentang-mentang TV tersebut adalah pemilik hak siar ISL dan owner-nya juga merupakan pendukung utama ISL, berita-beritanya jadi tidak berimbang gini. Ini salah satu alasan yang membuat saya males jadi wartawan, meski sebenarnya saya adalah mahasiswa Jurnalistik.