A dan B adalah siswa kelas 5 di SDN Blablabla. Keduanya merupakan teman sekelas. A siswa yang rajin, sedangkan B siswa yang tergolong pemalas. Sayangnya, meski A sangat rajin, prestasinya biasa-biasa saja. Bahkan, jika dilihat dari peringkat di kelas, posisi A berada di bawah B. Suatu hari, guru mereka mengadakan ulangan matematika...
Persiapan
A belajar dengan giat dari sejak beberapa hari sebelum ulangan.
B sama sekali tidak belajar. Dia lebih suka bermain game ketimbang membaca buku.
Saat Ulangan
Dari 20 soal, A hanya sanggup mengerjakan delapan. Namun ia tetap berusaha mengerjakan semampunya, tanpa mau menyontek pada orang lain.
Sedangkan B hanya sanggup mengerjakan enam soal. Karena itu, ia pun memutuskan menyontek pada teman sebangkunya.
Hasil Ulangan
A mendapatkan nilai 45. Sedangkan B mendapatkan nilai 85.
Komentar Guru
“A, seharusnya kamu lebih giat belajarnya. Contoh B, dia bisa dapet nilai 85.”
Komentar Orang Tua
Orang Tua A: “Ya ampun, nilai ulangan matematika kamu cuma 45? Jangan bikin malu Mama dong, Nak...”
Orang Tua B: “Wah, kamu pintar, Nak. Kamu bikin mama bangga.”
Opini Pribadi
Seringkali, para siswa SD “dipaksa” untuk lebih berorientasi kepada nilai. Padahal, ada yang jauh lebih penting dari itu: kejujuran dan kerja keras. Bayangkan jika pada akhirnya para siswa itu berpikir seperti ini: “Ternyata kalo nggak nyontek, saya cuma dapet nilai 45 dan dimarahin ama Mama, jadi mending saya nyontek aja.”
***
Di kebanyakan SMP dan SMA, biasanya selalu ada pembagian kelas berdasarkan “kemampuan” dan “prestasi” para siswanya. Ada kelas internasional, kelas reguler unggulan, hingga kelas reguler nonunggulan. Namun, disadari atau pun tidak, pembagian kelas dengan kriteria seperti ini justru lebih sering menimbulkan masalah...
Contoh pertama...
A: “Yeah, kelas 2 sekarang gue ditempatin di kelas 2A! Kelas unggulan tuh! Eh B, kalo lu dapet kelas yang mana?”
B: “Gue sekarang di kelas 2F.”
A: “Kelas 2F?! Itu kan kelas yang paling nggak diunggulkan? Yang isinya tuh murid-murid paling bego di kelasnya masing-masing pas kelas 1. Berarti lu bego dong? Hahahaha...”
Contoh kedua...
Orang Tua Calon Siswa: “Bu, kalo saya mau masukin anak saya ke kelas internasional, apa aja syaratnya?”
Kepala Sekolah: “Oh, gampang. Bapak cuma tinggal beli formulir, yang harganya 100 ribu. Isi, dan lengkapin syarat administrasinya. Kalo itu udah beres, nanti anaknya tinggal ikut tes masuk.”
Orang Tua Calon Siswa: “Lalu, kalau misalnya anak saya lulus, nanti jumlah uang pangkal dan SPP-nya berapa?”
Kepala Sekolah: “Uang pangkalnya 15 juta. Itu sudah termasuk uang pembangunan dan SPP bulan pertama. Biaya SPP per bulannya 700 ribu. Itu belum termasuk uang praktik dan pembelian buku.”
Orang Tua Calon Siswa: “Masya Allah! Kenapa mahal sekali?”
Kepala Sekolah: “Namanya juga kelas internasional. Tentu saja biayanya pun jadi lebih mahal dari yang reguler.”
Orang Tua Calon Siswa: “Oh, jadi kelas internasional hanya untuk orang-orang kaya? Orang-orang miskin seperti kami nggak boleh masuk, yah?”
Opini Pribadi
Sebenarnya, untuk apa sih ada pembedaan kelas seperti itu? Untuk menambah motivasi belajar para siswa? Busuk! Itu adalah diskriminasi! Diskriminasi, yang nantinya hanya akan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, antara yang pintar dan yang kurang pintar. Jadi, untuk apa para siswa harus mengenakan seragam ke sekolah, jika pada faktanya, perlakuan pada mereka justru sama sekali tidak seragam?
***
Ada fenomena menarik yang terjadi di dunia kampus dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena itu yakni, adanya jalur khusus bagi calon mahasiswa agar bisa diterima di kampus impiannya. Dari hasil pengamatan saya, ada dua jenis jalur khusus.
Jenis pertama, murni lewat jalur belakang. Caranya, dengan membayar uang hingga ratusan juta rupiah ke pihak kampus. Jika melalui jalur ini, mahasiswa tidak perlu ikut ujian masuk apa pun. Biaya SPP-nya pun sama mahalnya. Kata teman saya, jumlahnya bisa mencapai puluhan juta rupiah per semester.
Jenis kedua, melalui ujian masuk khusus. Biaya masuk melalui jalur ini tidak semahal jenis pertama, namun tentu lebih mahal ketimbang yang reguler (seperti SNMPTN atau PMDK). Meski melalui tes masuk, namun soal-soal yang diberikan jauh lebih mudah ketimbang jika harus melalui SNMPTN. Uang pangkal melalui jalur ini sekitar belasan hingga puluhan juta rupiah. Sedangkan besaran SPP per semesternya tergantung kebijakan kampusnya masing-masing. Ada kampus yang menetapkan besar SPP-nya sama dengan yang reguler, ada pula yang menetapkan sedikit lebih besar ketimbang reguler.
Opini Pribadi
Apa sih bedanya jalur khusus ini dengan penyuapan?