Pages

Ads 468x60px

Era Globalisasi dan Kesalahan Sistem Pendidikan Islam

Saat ini era globalisasi menjadi sebuah tantangan bagi dunia Islam. Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang terjadi di era ini, tak bisa begitu saja diabaikan. Untuk merespon kemajuan ini, maka dibutuhkan pendidikan yang memiliki keunggulan dan daya saing yang dapat dijadikan sebagai alternatif gencarnya pengaruh Barat dalam setiap aspek kehidupan.

Hal inilah yang mendasari perubahan beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), termasuk di Kota Bandung. Beberapa pihak berpendapat, perubahan ini merupakan kewajaran yang didasari keinginan untuk mengembangkan institusi lebih luas, tidak hanya terfokus terhadap pembelajaran ilmu-ilmu keagamaan. Dengan begitu, diharapkan universitas Islam akan lebih mampu mendidik masyarakat sesuai dengan kebutuhan saat ini yang relevan dengan kemajuan yang terjadi.

Maka berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 57 Tahun 2005, tanggal 10 Oktober 2005, bertepatan dengan tanggal 6 Ramadhan 1426 H, IAIN Sunan Gunung Djati berubah statusnya menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

Perubahan nama IAIN menjadi UIN bukan hanya terjadi di kampus ujung timur Kota Bandung ini. Ada lima kampus IAIN lain di Indonesia yang juga berubah menjadi UIN, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan UIN Alauddin Makasar.

Perubahan status beberapa IAIN menjadi UIN membawa pengaruh yang sangat signifikan. Ditinjau dari tujuannya, perubahan nama ini tidak sekadar perubahan administratif, melainkan ada visi jangka panjang. Yaitu mengembalikan kejayaan Islam.

Meski memiliki tujuan yang mulia, tak urung perubahan status IAIN menjadi UIN menimbulkan dampak negatif yang tak bisa dihindari. Dari segi pendidikan, setidaknya muncul tiga dampak negatif dari perubahan status ini, yang tidak muncul saat masih berstatus IAIN. Pertama, perubahan ini ternyata mengakibatkan kecenderungan kurangnya peminat terhadap ilmu-ilmu keagamaan yang selama ini menjadi ciri khas pola pendidikan di IAIN.

Mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni pernah menyatakan, kalaupun ada mahasiswa yang berkuliah di program studi keislaman yang ada di UIN, biasanya hanya karena terpaksa akibat tidak diterima di program studi pendidikan umum.

Pendapat Maftuh Basyuni ini seakan tidak terbantahkan. Faktanya, keadaan yang terjadi di lapangan memang seperti itu adanya. Hal ini sangat ironis, mengingat program studi keislamanlah yang seharusnya menjadi unggulan dan favorit di UIN. Adanya keterpaksaan ini diperparah dengan standar mutu pendidikan UIN yang masih rendah.

Fungsi dari suatu sistem pendidikan yang baik adalah menjaga agar level intelektual tetap tinggi demi menghasilkan produk-produknya yang normal atau tidak dibawah standar, untuk menyadari yang terbaik di antara semuanya, dan untuk memberikan kesempatan maju kepada mereka yang benar-benar berbakat (Fazlur Rahman: 1983). Dengan adanya “ketidakrelaan” dari mahasiswa yang ditambah standar mutu yang rendah, bisakah UIN menghasilkan lulusan yang berkualitas?

Kedua, model pendidikan di program studi umum yang mayoritasnya lebih berbasis pada teori barat. Padahal, model pendidikan a la Barat yang hanya berkutat pada soal-soal materialisme dianggap gagal memenuhi seluruh aspek pendidikan dari sudut pandang Islam. Menurut pandangan Islam, pendidikan sebenarnya jalan untuk mencapai fitrah manusia yang beriman. Pendidikan adalah upaya menjadikan manusia sesungguhnya yang berjalan dengan bimbingan wahyu Tuhan. Akibatnya, basis kebarat-baratan yang diterapkan di UIN malah menenggelamkan sisi historikal keagamaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap universitas Islam.

Di era globalisasi seperti saat ini, antipati terhadap teori-teori barat memang merupakan sebuah hal yang tabu. Kemajuan yang dialami negeri-negeri Barat membuat segala ilmu pengetahuan yang berasal dari sana tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, patut disadari bahwa ilmu barat ini tidak hanya mampu berimplikasi pada kemajuan di dunia Islam, namun juga mampu merusak tatanan yang ada. Karena itu, dibutuhkan keseimbangan antara keduanya agar bisa saling memberi manfaat.

Mengutip perkataan Naquib Al-Attas, pendidikan di dunia Islam harus melakukan revolusi berupa dewesternisasi. Proses dewesternisasi bukanlah dipahami sebagai gerakan anti-Barat dan peradabannya. Dewesternisasi lebih pada usaha untuk membersihkan berbagai pernik peradaban masa kini dari unsur-unsur worldview (pandangan hidup) Barat yang bertentangan dengan worldview Islam yang tauhidi dan melahirkan implikasi yang sangat serius dan destruktif atas kemanusiaan sejagad.

Ketiga, munculnya dikotomi antara ilmu keislaman dengan ilmu umum. Contoh nyata dari adanya dikotomi ini bisa dilihat dari banyaknya mahasiswa UIN –terutama yang berasal dari sekolah menengah umum dan masuk program studi umum—merasa antipati terhadap mata kuliah yang berbau keagamaan. Mereka berpendapat, mata kuliah agama tidak ada hubungannya dengan jurusan yang diambilnya. Akibatnya sudah bisa ditebak, mayoritas mahasiswa UIN memiliki pemahaman yang sangat rendah terhadap ilmu-ilmu keislaman.

Adanya dikotomi ini menyebabkan kemerosotan yang sangat besar di dalam kualitas dan standar pendidikan Islam itu sendiri. Padahal, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Ismael Raji al Faruqi menyatakan Islam beranggapan semua ilmu bersumber pada nash-nash dasar, yakni Alquran dan Hadits. Karena itu, tidak benar jika muncul anggapan bahwa ilmu umum harus terpisah dari ilmu keislaman. Pemisahan ini akan menjadi titik kritis bagi umat Islam dalam bidang pendidikan.

Faruqi berpendapat, seharusnya ada konsep integrasi antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Konsep integrasi ini penting untuk menjaga kesegaran pemikiran dan pendidikan di dunia Islam, agar tidak tertinggal dari kemajuan yang dihasilkan oleh negeri-negeri barat, sekaligus tetap menjaga jati diri keislamannya.

Sejarah mencatat, integrasi antara ilmu pengetahuan umum dan agama ini sempat membuat Islam mengalami masa kejayaan pada beberapa abad yang lalu. Buku-buku sejarah menyebutkan masa itu sebagai era keemasan (the golden age) Islam. Ketika orang-orang Barat sedang menjalani masa kegelapan (dark ages), kaum Muslim berada dalam puncak peradaban di mana ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi tanda kejayaannya. Di masa itu, lahirlah cendikiawan Islam yang namanya terkenal ke seluruh penjuru dunia hingga saat ini seperti Ibnu Sina (Avicena) dan Ibnu Rusydi (Averroes).

Maka jika kini di UIN terjadi dikotomi atau pemikiran anti-integrasi terhadap ilmu pengetahuan, bukankah itu merupakan sebuah kemunduran bagi pendidikan Islam? Ironisnya, dikotomi ini justru bertentangan dengan visi misi UIN itu sendiri. Dalam buku panduan akademik disebutkan bahwa visi UIN Sunan Gunung Djati adalah menjadikan UIN sebagai Perguruan Tinggi yang mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum sehingga memiliki keunggulan kompetitif, profesional, pada tingkat nasional dan internasional dalam mengembangkan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, sisial dan budaya berdasarkan nilai-nilai Islami untuk disumbangkan bagi pengembangan masyarakat dan bangsa yang lebih terbuka dan demokratis.

Sedangkan misinya yaitu menyiapkan generasi Ulul Albab yang memiliki kemampuan dalam memadukan dzikir dan pikir sehingga memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, untuk menjadi warga masyarakat yang berkualitas dan mandiri serta mampu menemukan, mengembangkan dan menerapkan ilmu, teknologi, sosial, budaya dan seni melalui pengembangan ilmu-ilmu yang berlandaskan Islam.

Berdasarkan ironi tersebut, maka sudah selayaknya tindakan kontra-kemajuan seperti dikotomi ilmu pengetahuan ini harus segera dihilangkan dari pemikiran-pemikiran para intelektual Islam, khususnya mahasiswa UIN. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, agama tanpa ilmu itu seperti orang lumpuh, dan ilmu tanpa agama itu seperti orang buta.

Kesimpulannya, umat Islam memang wajib menghadapi era globalisasi yang sedang terjadi. Jika tidak seperti itu, Islam akan kehilangan kontak dengan berbagai permasalahan yang sedang terjadi. Namun, era globalisasi pun tidak bisa dijadikan alasan untuk penghilangan jati diri dan identitas keislaman dari UIN.

Karena itu, UIN harus segera mengatasi dampak negatif yang muncul akibat pengaruh era globalisasi ini. Butuh usaha serius yang bertahap dan konsisten, karena masalah ini tidak akan mampu diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat. Dengan demikian, maka ke depannya UIN akan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang bermoral keislaman, kokoh, memiliki kualitas tinggi dan akuntabilitas.