Pages

Ads 468x60px

Antara Diari dan Jejaring Sosial

Dulu, sebuah ungkapan hati, perasaan galau dan semacamnya, jarang ada yang mengungkapkannya secara terang-terangan. Perasaan-perasaan itu memang bersifat privat, sehingga paling banter hanya diungkapkan melalui curahan hati kepada orang terdekat, atau hanya ditulis di dalam sebuah diari (catatan harian).

Ada yang dulu sering menulis di dalam diari? Kalo saya sih sering. Nah... yang namanya diari ini, biasanya bersifat rahasia. Si pemilik tidak akan memperbolehkan orang lain untuk membaca diari miliknya. Kalaupun ada yang diperbolehkan membacanya, pastilah memiliki hubungan spesial dengan si pemilik. Misal, sahabatnya.

Itu dulu. Bagaimana dengan sekarang? Zaman sekarang, posisi diari seakan tergantikan oleh kehadiran jejaring sosial, khususnya Facebook dan Twitter. Bedanya, jejaring sosial sama sekali tidak bersifat rahasia. Efeknya jelas, ungkapan hati, perasaan galau dan semacamnya justru diumbar kemana-mana. Semua orang bisa tahu, tanpa ada privasi sedikit pun.

Dulu, kita tidak bisa begitu saja membaca curhatan-curhatan di dalam diari seseorang, bahkan meski kita menginginkannya. Sedangkan sekarang, kita nyaris selalu membaca curhatan-curhatan di akun jejaring sosial seseorang, bahkan meski kita TIDAK menginginkannya.

Saya memiliki seorang teman perempuan di Facebook yang nyaris semua statusnya adalah curhat. Masalahnya, dia sangat sering update status! Akibatnya, curhatan-curhatan dia selalu muncul di newsfeed. Sialan. Ini contoh statusnya:

“BT, malam ini nggak jadi malmingan...” atau,
“Sayangku, kapan dateng ke rumah?” atau,
Asiiik, tar sore bakal diapelin. Kencaaan...” atau,
“Kenapa sih kamu nggak pernah mau ngertiin aku? Padahal selama ini aku selalu mau ngertiin kamu! Pacaran tuh harusnya saling memahami, jangan egois! Nyebelin!”

Begitulah. Siapa yang nggak kesel jika hampir tiap hari membaca status macam itu? Anehnya, status-status macam itu selalu banyak penggemarnya. Jumlah like tiap statusnya selalu lebih dari sepuluh. Ah, saya jadi benar-benar berharap Facebook mau menyediakan tombol dislike...

Namun, kekesalan saya akhirnya malah berubah menjadi tawa geli, saat teman perempuan itu (yang juga teman saya di Facebook) mengomentari statusnya. Statusnya dalam Bahasa Sunda. Jika dalam Bahasa Indonesia, seperti ini kata-katanya:

“Ih, stres lu nggak ilang-ilang yah? Lu kan jomblo, ngapain coba hampir tiap jam bikin status mesra atau status galau yang isinya kayak lu punya pacar?”

Ahahahaha... bah, ternyata dia jomblo! Sarap! Tragis amat, bikin status-status kayak gitu cuma biar disangka punya pacar...