Pages

Ads 468x60px

Absurditas Nilai Mata Uang

Saya selalu bingung dan bertanya-tanya, kenapa selembar kertas (yang disebut uang) bisa memiliki nilai tukar yang berbeda-beda. Bahkan, nilai tukarnya ada yang sangat tinggi. Coba kita bandingkan uang kertas Rp1.000 dengan Rp100.000, atau uang $1 dengan $100. Apa persamaannya? Sama-sama kertas. Apakah uang kertas Rp100.000 dan $100 mengandung emas, sehingga nilainya lebih tinggi daripada yang lain? Saya rasa nggak. Lalu, mengapa nilainya bisa berbeda sangat jauh seperti itu?

Terus, mengapa pula uang $1 memiliki nilai tukar yang setara dengan uang sekitar Rp9.000? Emang, seistimewa apakah uang dari Negeri Paman Sam itu, sehingga nilai tukarnya jauh lebih tinggi dari mata uang kita? Ingat, baik dollar mau pun rupiah, itu sama-sama kertas!

Sekarang, coba kita bakar uang kertas Rp100.000 atau $100 tersebut (ada yang mau?) hingga hanya tersisa setengahnya. Lalu, bandingkan dengan uang Rp1.000. Mana yang lebih berharga? Secara logika, harusnya uang kertas Rp100.000 dan $100 (yang tersisa setengah) itu lebih berharga. Setengah dari kertas Rp100.000 dan $100 kan Rp50.000 dan $50. Namun, pada faktanya, mengapa justru malah uang Rp1.000 yang lebih berharga? Konyol.

Saya jadi ingat sebuah cerita yang pernah saya baca dalam sebuah buku. Saya lupa judul bukunya dan detail ceritanya, tapi inti ceritanya seperti ini:

Pada sebuah perkumpulan yang diikuti 10 orang, ada orang (sebut saja A) yang menawarkan selembar uang Rp100.000 kepada yang lain.

A: “Ada yang mau uang ini nggak? Kalo mau, silakan angkat tangan.”

Ternyata, semua mengangkat tangannya. Mereka menginginkan uang Rp100.000 tersebut (iyalah, siapa yang nggak mau dikasih duit segitu secara cuma-cuma?).

A: “Wah, ternyata semuanya ingin dikasih uang ini. Karena uangnya hanya ada selembar, jadi biar adil, saya sobek saja jadi sepuluh bagian agar semua orang, termasuk saya, mendapatkan 1/10-nya. Berarti itu nilainya 10 ribu, kan?”

Uang itu pun disobek menjadi sepuluh bagian (sayang amat, coba sumbangin aja ke mahasiswa miskin yang lagi butuh duit buat ngurus skripsi kayak saya).

A: “Sekarang, siapa yang masih menginginkan uang ini lagi?”

Seperti yang sudah diduga, nggak ada lagi orang yang mengacungkan tangannya. Melihat respon itu, kemudian A mengambil sekeping logam emas (koin dinar) dari dalam sakunya dan menawarkanya lagi kepada orang-orang tersebut. Sekeping koin dinar itu seberat 4,25 gram emas 22 karat, jadi harganya sekitar 2,2 juta rupiah.

A: “Nah, kalo koin dinar ini, siapa yang mau? Silakan angkat tangan!”

Seperti sebelumnya, semua orang di sana mengangkat tangan.

A: “Baiklah, akan saya berikan. Namun, sebelumya saya akan merusak koin ini dulu.”

Lalu, A melipat-lipat koin itu dan menekuknya hingga tak berbentuk lagi. Tidak hanya itu, dia pun menginjak dan membakarnya dengan korek gas.

A: “Sekarang, siapa yang masih menginginkan koin ini? Silakan angkat tangan.”

Kali ini, semua orang tetap mengangkat tangan. Yah, wajar sih. Bagaimana pun, emas adalah emas. Sehancur apa pun bentuknya, harga emas tetaplah mahal. Bahkan, kalaupun koin itu dipecah menjadi sepuluh bagian, pasti tetap pada mengangkat tangan (saya juga rela kok meski cuma dapet 1/10 bagiannya).

Ini jelas berbeda dengan uang kertas yang jangankan disobek jadi sepuluh bagian, disobek jadi dua pun pasti banyak yang nolak (kecuali orang kepepet yang nyambung lagi tu duit pake selotip). Jadi, kenapa mata uang malah dibuat dari kertas (yang sejatinya tidak berharga), bukannya emas atau perak yang nilainya jelas?

***

Permasalahan pada uang kertas sebenarnya tidak hanya terletak pada nilainya yang nggak jelas, namun juga rawan kerusakan dan perusakan. Contohnya sering kita temui di Indonesia. Bahkan, bisa jadi ini ciri khas Indonesia yang tidak bisa ditemui di negara lain (setelah saya menanyakannya pada beberapa teman yang pernah tinggal di luar negeri). Ciri khas ini adalah:
  • Uangnya teramat sangat lecek. Saya nggak tau udah dipegang dan terkena keringat berapa juta orang. Pokoknya, itu jauh lebih lecek ketimbang wajah saya. Heran, ada aja orang yang masih mau pake duit sarang kuman itu.
  • Uangnya disambung oleh selotip. Nggak ada komentar buat uang jenis ini, saya sampe speechless. Yang pasti, tiap liat uang kayak gini, saya selalu inget ama sepatu saya yang juga pake selotip. Jadi, pertanyaannya, ini uang apa sepatu saya?
  • Uangnya dicorat-coret. Jenis coretannya bermacam-macam. Ada yang memberi coretan pada gambar pahlawannya, ada yang membuat tulisan gombal nggak banget macam ‘XYZ, Ai Lop Yu Pull!’ hingga pencantuman nomor HP (buat apa, coba? Kalo emang nggak laku, ya nggak usah sampe jual diri dengan nyantumin nomor HP di uang segala kali).