Pages

Ads 468x60px

Ingin Dapat Adipura? Sediakan Dulu Tempat Sampah!

Sampah. Ya, lagi-lagi sampah. Masalah menggunungnya sampah kembali menjadi penyebab Kota Bandung gagal meraih Adipura. Padahal, tahun ini Pemerintah Kota Bandung sudah menggelontorkan dana hingga 900 juta rupiah agar bisa mendapatkan penghargaan bergengsi di bidang kebersihan lingkungan ini. Sayangnya, usaha ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

Akibat kegagalan--yang ditengarai disebabkan oleh sampah--ini, Walikota Bandung Dada Rosada semakin ngotot untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Diharapkan, PLTSa bisa meminimalisir gunungan sampah yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari di kota ini.

Namun, apakah PLTSa benar-benar bisa menjadi solusi? Masalahnya, PLTSa masih menuai pro-kontra, terutama dampaknya bagi pencemaran udara. Selain itu, besarnya dana yang harus dikeluarkan menjadi kendala lain.

Pada dasarnya, saya setuju dengan pengayaan PLTSa untuk menangani masalah sampah di kota ini. Namun, alangkah baiknya jika pemkot terlebih dulu memperhatikan masalah lain yang tingkat urgensinya lebih tinggi: pengadaan tempat sampah. Meski terlihat sepele, peran tempat sampah sangat vital bagi kebersihan suatu lingkungan.

Di Kota Bandung, terutama di sebagian besar ruas jalannya, tempat sampah sangat sulit dijumpai. Saya pernah menyusuri sebagian Jln. Otto Iskandar Dinata--mulai dari perempatan Jl. Asia-Afrika hingga nyaris mencapai Jln. Inggit Garnasih--hanya untuk mencari tempat sampah. Ini sungguh ironis, karena hanya demi menemukan tempat sampah, seseorang harus berjalan dulu hingga sejauh itu.

Penyediaan lebih banyak tempat sampah dirasakan sangat perlu bagi kota ini. Bukankah (pemerintah) Kota Bandung begitu berharap mendapatkan penghargaan Adipura? Karena itu, patut diperhatikan jika dua di antara sekian banyak penilaiannya berkaitan dengan sampah. Kedua syarat tersebut yakni, pertama, revitalisasi sampah dengan prinsip 3R yakni reduce, reuse dan recycle harus tujuh persen. Kedua, harus terpenuhinya minimal angka tujuh persen untuk pengelolaan sampah organik dan anorganik.

Hingga saat ini, rasanya Kota Bandung belum mampu memenuhi kedua syarat tersebut.

Dua Jenis
Tempat sampah harus dibuat setidaknya dalam dua jenis, sesuai dengan karakteristik sampahnya. Secara umum, jenis sampah terbagi menjadi sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah organik adalah sampah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang berasal dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian,perikanan, atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga seperti sampah dari dapur, sayuran, kulit buah, dan daun juga merupakan bahan organik.

Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat  anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan melalui proses yang cukup lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol kaca, botol plastik, tas plastik, kertas dan kaleng.

Pembedaan ini berfungsi untuk memudahkan petugas pengangkut sampah dalam melakukan pembersihan. Saat melakukan pengangkutan, biasanya di setiap truk terdapat karung besar untuk memilah sampah anorganik seperti plastik dan dus.

Pembedaan ini juga bisa mendatangkan manfaat lain. Misalnya, bagi sebagian orang, sampah organik biasa dimanfaatkan sebagai pupuk kompos, karena sifatnya yang  mudah membusuk dan diuraikan. Sedangkan sampah organik, karena sulit dan bahkan tidak mungkin diuraikan, maka dimanfaatkan untuk daur ulang. 

Berbagai fungsi tempat sampah ini sebenarnya sudah banyak diketahui banyak orang. Namun, entah mengapa penerapannya sulit sekali diterapkan di Kota Bandung. Menemukan tempat sampah saja sulit, apalagi yang tempatnya dibedakan.

Padahal, jika kita perhatikan, fungsi tempat sampah ini sangat menunjang bagi melonjaknya tingkat kebersihan di kota ini. Bahkan, ini bisa berarti terpenuhinya kedua syarat penilaian Adipura yang berhubungan dengan sampah.

Namun, patut diperhatikan, pengadaan tempat sampah bukan hanya berarti sebagai ajang meningkatkan nilai untuk mendapatkan Adipura.  Apalagi jika hanya digencarkan di waktu-waktu menjelang penilaian. Tersedianya tempat sampah juga berarti terlaksananya kewajiban pemerintah dalam menjaga lingkungan.

Selain itu, tempat sampah pun menunjukkan seberapa besar tingkat kedisiplinan dan tanggung jawab masyarakat. Membuang sampah sembarangan mungkin masih bisa dimaklumi, jika alasannya memang tidak ada tempat untuk membuangnya. Namun, membuang sampah sembarangan saat tempat sampah tersedia di depan mata? Sungguh terlalu….

Bagaimana pun, usaha menjaga kebersihan lingkungan tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh satu pihak, dalam hal ini Pemkot Bandung. Butuh partisipasi seluruh lapisan masyarakat untuk melanggengkan usaha ini.

Jadi, apakah Kota Bandung masih ingin mendapatkan penghargaan Adipura? Jika ya, maka jangan dulu berpikir terlalu jauh dengan ingin buru-buru mendirikan PLTSa, tapi kerjakan dulu hal yang lebih “sepele”: sediakanlah lebih banyak tempat sampah!