Hari ini, hampir semua stasiun TV menyiarkan secara langsung pernikahan Ibas dan Aliya. Dari pengamatan saya, hanya ada dua stasiun TV yang tidak ikut menyiarkannya: R*TI (menayangkan acara musik) dan A*TV (menayangkan komedi situasi).
Karena pilihan acaranya hanya ada tiga, dan saya tidak menyukai semuanya, maka saya lebih memilih untuk mematikan TV-nya dan langsung online di komputer. Kebetulan, ada teman yang ngajak chat.
Saya: “Ceilah, hampir semua stasiun TV nyiarin acara pernikahan Ibas-Aliya. Penting juga nggak.”
Teman: “Penting dong, Ki. Yang nikah kan anaknya presiden ama anaknya menteri.”
Saya: “Penting apanya? Emang dengan penayangan pernikahan itu di semua stasiun TV, jumlah koruptor bakal berkurang?”
Teman: “Ya nggak, sih.”
Saya: “Nah, kan? Terus pentingnya apaan? Yang ada, itu pernikahan itu malah jadi ajang penyalahgunaan wewenang. Masa iya istana (milik) negara dijadiin tempat buat acara pribadi seperti pernikahan?”
Teman: “Kan anak presiden. Jadi boleh dong memanfaatkan fasilitas yang dikasih buat ayahnya.”
Saya: “Fasilitas itu dipinjamkan negara ke presiden buat urusan negara, bukan buat kayak ginian.”
Teman: “Hmmm... susah deh ngomong ama wartawan kayak kamu. Udahlah, ganti pembahasan. Kira-kira, nanti nama anaknya siapa yah?”
Saya: “Buset, nikahnya aja baru tadi, udah penasaran aja nama anaknya nanti siapa.”
Teman: “Hehehe, biarin dong.”
Saya: “Tapi, rasanya gue tau nanti mereka bakal ngasih nama apa ke anaknya.”
Teman: “Masa? Emang nanti bakal dikasih nama apa?”
Saya: “Kalo cewek, pasti namanya ‘aQuWhhChYank DheEyYaClaMaaNyaGh’. Sedangkan kalo cowok, pasti namanya ‘ChuUcHuWnYaaGhSBY YaNghKewWReNzZhDanTamPunDh’.”