Pages

Ads 468x60px

Mahasiswa Abadi, Sang Preman Kampus

Saya sering melihat, banyak mahasiswa yang sepertinya betah sekali hidup di kampus. Mengapa saya sebut betah? Yah, karena tampaknya mereka memang tidak niat lulus. Entah sudah berapa lama mereka menjadi kuncen kampus. Mungkin enam tahun, tujuh tahun, atau malah sepuluh tahun. Istilah bagi mereka adalah mahasiswa abadi.
Cukup mengherankan sebenarnya. Kenapa yah mereka tidak segera lulus saja? Apa karena memang susah lulus, atau malah karena malas? Ckckck….

Kalau telat lulusnya hanya setahun atau dua tahun sih masih bisa disebut wajar, tapi kalau telatnya sampai empat atau lima tahun kan keterlaluan juga. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apa mereka tidak malu? Teman-teman seangkatannya mungkin sudah bekerja dan sukses, lah sementara dia malah bangkotan di kampus.

Yang paling menyebalkan adalah jika mereka merasa seperti penguasa kampus. Sudah tidak lulus-lulus, jadi preman kampus pula. Menyebalkan. Masalahnya, tentu saja tidak banyak yang berani melawan. Umurnya kan jauh lebih uzur.

Saya punya pengalaman pribadi terkait dengan preman kampus ini. Sekitar dua tahun lalu (2009), saya “tanpa sengaja” nyaris baku hantam dengan si preman uzur.
Preman Uzur (PU): “Lo ngajak gue ribut? Lo nggak tau siapa gue?”
Saya: “Emang kamu siapa?”
PU: “Gue yang megang **** (sensor, ini nama Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus saya)! Gue senior di sana!”
Saya: “Senior? Emang angkatan berapa?”
PU: “Gue angkatan 2002!”1
Saya (menelan ludah dan berpikir dalam hati): “Ya ampun, ini sih senior banget. Malah harusnya udah jadi veteran. Bisa gawat nih kalo ribut ama dia. Pantesan aja dari tadi anak-anak **** udah pada nongkrong di depan Student Centre sambil melirik-lirik gue, ternyata mereka sedang mem-backing orang ini.
PU: “Kalo mau ribut, ayo! Atau jangan-jangan, lo takut ama gue?”
Saya (masih dalam hati): Takut ama lo sih nggak, gue cuma khawatir dikeroyok temen-temen lo.
PU: “Jawab, a****g!”
Saya (dengan wajah sok polos): “Angkatan 2002? Kok nggak lulus-lulus? Bego…”
PU: “A****g! Beraninya lo ngehina gue!!!”

Adegan selanjutnya, dia marah besar dan mencoba memukul saya. Tapi saya berhasil menghindar dan lari. Sialnya, keesokan harinya saya kembali bertemu dia. Rupanya dia memang sengaja menunggu saya. Agar masalahnya tidak berlarut-larut, saya terpaksa harus menghadapi dia.

PU: “Jangan lari lagi lo!”
Saya: “Nggak bakalan, nyantai aja.”
PU: “Sekarang gue bakal ngehajar lo!”
Saya (balik nantang): “Silakan, tapi siap-siap aja tanggung risikonya!”
PU: “Huh, lo bawa temen? Mana? Gue lawan semua!”
Saya: “Geer, gue sendirian! Maksud gue, tanggung aja risikonya kalo nanti Suaka (nama lembaga pers kampus saya. Saat itu, saya menjabat sebagai redaktur) memuat berita tentang senior **** melakukan penganiayaan -–ini sebenarnya hanya ancaman kosong, karena tidak mungkin saya memuat berita tentang permasalahan pribadi seperti ini–-!
PU (mendadak diam, mungkin takut mendengar ancaman saya): “….”
Saya: “Nanti jangan salahin gue kalo nama **** jadi tercemar karena ulah lo!”
PU: “A****g, lo! Sialan!” (sambil pergi tanpa salam dan pamit)
Saya (tertawa): “Hehehehehe, kena dia!”2

Catatan:
1 Saya angkatan 2007
2 Cerita di atas tidak benar-benar identik dengan kejadian sebenarnya. Saya kan tidak mungkin ingat semuanya. Selain itu, dialognya pun dilakukan dengan Bahasa Sunda. Tapi, meski mungkin ada beberapa hal yang berbeda, tapi inti kejadiannya memang seperti itu.