Pages

Ads 468x60px

Klinik Bahasa #2 --- Imbuhan Me-

Prolog

Bahasa Indonesia mengenal istilah imbuhan dalam pemakaian kata. Kata berimbuhan adalah kata yang berubah-ubah  bentuk maupun maknanya karena proses afiksasi. Imbuhan terbagi dua bentuk, imbuhan dengan morfem (satuan bahasa terkecil yang memiliki makna, seperti me-, di-, meja, kursi, dll) terikat dan tidak terikat.

Bentuk morfem terikat di antaranya adalah ber-, me-, ter-, per-, se-, di-, ke-, -kan, -an, -i. Disebut morfem terikat karena tidak pernah berdiri sendiri, selalu menempel pada morfem bebas. Sedangkan morfem tidak terikat di antaranya man, wan, wati, el, em, er, isasi, dan isme.

Untuk saat ini, saya akan menjelaskan dulu tentang imbuhan/morfem terikat me- yang (menurut saya) memiliki kerumitan tersendiri. Imbuhan me- memiliki banyak variasi, bergantung pada huruf awal kata yang ditempelinya. Variasi imbuhan ini yaitu mem-, men-, meng-, meny- dan menge- (morfem ini juga bisa ditambahkan akhiran -kan, -i, -an, dll).

Di sinilah letak kerumitannya. Rumit, karena tiap huruf awal memiliki perbedaan aturan tentang keharusan lebur/luluh atau pun tidak saat ditempeli morfem ini. Misalnya, kata yang benar itu mempengaruhi atau memengaruhi? Mencuci atau menyuci? Maka, izinkanlah saya sedikit membuat analisis mengenai aturan ini (sekadar mengingatkan, ini hanyalah sebuah analisis, jadi mungkin saja terdapat kesalahan dalam penjelasan saya).

Isi

Sebelum masuk pada penjelasan, saya akan memulai dengan sebuah cerita:

Saat saya masih duduk di bangku Tsanawiyah, guru Bahasa Indonesia sempat menjelaskan tentang aturan luluh atau tidaknya sebuah huruf awal saat ditempeli morfem me-. Untuk memudahkan pemahaman, beliau menyebutkan aturan terkait hal ini. Aturan tersebut yaitu: “Kata yang luluh saat ditempeli morfem me- HANYA berlaku bagi kata yang berawalan huruf K, P, S, dan T (agar mudah mengingatnya, ingat saja KTSP).”

Contohnya:
Kondisi – mengondisikan
Komunikasi – mengomunikasikan
Kecil – mengecil
Pengaruh – memengaruhi
Perlu – memerlukan
Potong – memotong
Sedih – menyedihkan
Seru – menyeru
Singkat – menyingkat
Tonjok – menonjok
Tangkap – menangkap
Tebang – menebang

Coba bandingkan dengan kata-kata lain yang memiliki huruf awal selain KTSP, tidak luluh kan? Misalnya men-cuci, mem-beri, men-dahulukan, men-jadi, meng-gonggong, dll (Catatan: saya menggunakan KBBI 2008. Jadi, saya tidak bertanggung jawab jika ternyata kata-kata tersebut telah mengalami perubahan pada KBBI 2009. ^_^).

Lain dengan yang dijelaskan oleh guru Bahasa Indonesia saya, dosen Bahasa Jurnalistik saat saya semester tiga memberi penjelasan yang lebih abstrak. Ia mengatakan, cari saja padanan kata dengan huruf yang sama sebagai perbandingan, jika bingung apakah kata ini luluh atau tidak. Maksudnya, jika kita bingung apakah huruf awal luluh atau tidak, maka bandingkan dengan kata lain yang berawalan huruf yang sama. Misalnya, kata cuci. Jika bingung, bandingkan saja dengan kata lain yang berawalan huruf yang sama seperti curi (mencuri).

Awalnya, saya sempat menerima penjelasan guru dan dosen saya tersebut tanpa memerhatikan lebih lanjut. Namun, di suatu hari, saya menyadari ada beberapa hal yang berbeda. Terdapat beberapa kata yang meski berawalan huruf KTSP, tapi tidak luluh. Contohnya:
Kritik – mengkritik (bukan mengritik)
Prakarsa – memprakarsai (bukan memrakarsai)
Steril – mensterilkan (bukan menyeterilkan)
Tradisi – mentradisikan (bukan menradisikan)

Di sinilah saya menyadari ada aturan tersendiri mengenai hal ini. Aturan tersebut adalah: “Sebuah kata, meski berawalan huruf KTSP tidak luluh saat ditempeli morfem me-, saat huruf keduanya juga berupa konsonan.”

Perhatikan saja contoh-contoh di atas. Huruf keduanya konsonan, kan? Aturan ini berlaku untuk semua kata yang sejenis dengan contoh di atas (ingat, ini hanya analisis saya pribadi! Jadi mungkin saja terdapat kesalahan dalam penjelasan saya).

Kemudian, saya juga mendapat kasus lain soal aturan peleburan ini. Terdapat kata-kata lain yang meski berawalan huruf KTSP, tapi tidak luluh. Padahal, kata huruf keduanya pun bukan konsonan. Contohnya:
Tik – mengetik
Pos – mengeposkan
Sah – mengesahkan
(maaf, saya nggak dapet contoh untuk huruf K)

Maka, aturan untuk kata-kata ini adalah: “Sebuah kata yang hanya terdiri dari satu suku kata, saat ditempeli morfemme-, berubah variasi menjadi menge-. Aturan ini berlaku bagi semua huruf awal, termasuk yang berawalan huruf KTSP.”

Untuk kasus yang sama, aturan ini berlaku juga untuk kata asing yang sering dipergunakan dan memiliki satu suku kata seperti kata stop (namun, variasinya menjadi menye-Stop berubah menjadi menyetop).

Epilog

Demikianlah beberapa aturan yang saya temukan. Namun, ternyata aturan-aturan ini tidaklah bersifat mutlak. Ada beberapa kata yang menjadi pengecualian. Salah satunya adalah kata punya. Padahal, kata ini berawalan huruf P, huruf keduanya pun adalah huruf vokal (bukan konsonan) dan terdiri dari dua suku kata. Namun, entah mengapa kata ini tidak luluh. Kata punya menjadi mem-punya-i. Padahal, jika mengikuti aturan di atas, seharusnya menjadi memunyai (Hahahaha, tapi aneh sih). Saya juga bingung, karena ternyata Bahasa Indonesia sangatlah rumit. Sayangnya, sepanjang pengetahuan saya, belum ada referensi yang menjelaskan dengan detail mengenai kerumitan aturan-aturan ini.

Sebenarnya, masih banyak yang harus dijelaskan terkait kerumitan aturan-aturan dalam imbuhan me- ini. Namun, untuk saat ini, cukup sekian penjelasan dari saya (bisi lieur macana mun panjang teuing mah). Saya tunggu kritik dan sarannya. Terima kasih.