Baru nemu lagi tulisan lama saya di komputer. Isinya tentang kenapa saya memilih kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik. Check it out...
***
“Jadi, mau pilih jurusan apa untuk pilihan keduanya?” Tanya wanita di depanku tak sabar. Mungkin ia kesal karena sudah lebih dari sepuluh menit menunggu pilihanku. Namun, dibalik ketidaksabarannya, wajah wanita ini sebenarnya sangat cantik. Ditaksir dari wajahnya, usia wanita ini tidak berbeda jauh denganku. Mungkin hanya lebih tua beberapa tahun. Sepertinya masih berstatus mahasiswa. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak yang longgar. Kerudungnya berwarna hijau ia pasang dengan sangat rumit. Terbelit-belit di lehernya. Inilah salah satu contoh korban mode, pikirku.
Aku masih ragu-ragu. Sejujurnya, aku benar-benar kaget saat harus diberi pilihan seperti ini. Masalahnya, pilihan ini bukan main-main. Bisa jadi, pilihan ini akan menentukan masa depanku nanti.
Saat ini aku memang sedang mendaftar untuk berkuliah di salah satu universitas di kotaku. Universitas Islam. Bukan kampus unggulan, namun yang jelas universitas negeri. Itulah salah satu pertimbanganku. Sebenarnya, aku juga sudah terdaftar sebagai peserta Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Namun, karena aku benar-benar ragu bisa lolos, jadi aku mendaftar pula di kampus ini melalui tes lokal yang diadakan pihak universitas.
Kini, aku dihadapkan pada pilihan yang menyulitkan. Aku diberi kesempatan untuk memilih dua jurusan yang diminati. Pilihan pertamanya adalah Jurusan Kimia (bukan pendidikan). Pilihan ini bukannya tanpa alasan. Saat masih sekolah di Madrasah Aliyah dulu, Kimia bisa dibilang satu-satunya pelajaran yang aku kuasai. Bolehlah matematika-ku jeblok dan fisika-ku ancur-ancuran, namun jika menyangkut kimia, akulah ahlinya. Hehehe….
Masalahnya sekarang, apa pilihan kedua setelah Jurusan Kimia? Aku tidak ingin mengambil Pendidikan Kimia. Bukannya apa-apa, tapi aku tidak berminat menjadi seorang guru. Sayangnya, aku tidak melihat ada kemungkinan lain. Di kampus ini, tidak ada lagi jurusan yang berhubungan dengan mata pelajaran favoritku itu.
“Jadi milih nggak?” kata mahasiswi tadi. Dari nada suaranya, sepertinya ia mulai sewot.
Ia melotot. Mungkin kaget dengan sindiranku yang tidak pada tempatnya. Namun, aku tetap tidak peduli. Pandanganku fokus pada kertas formulir di depanku yang berisi nama semua jurusan di kampus ini. Aku hanya tinggal mencontreng satu lagi kotak kosong yang terdapat di samping nama-nama jurusan tersebut. Satu menit. Dua menit. Waktu terus berlalu, dan aku masih berpikir.
Tiba-tiba saja aku menyadari, wajah mahasiswi di depanku mulai memerah. Kecantikannya hilang, seakan berganti berganti dengan paras harimau lapar yang siap menerkam. Tak mau ada masalah dengannya, terpaksa aku harus menentukan pilihan.
“Pinjem bolpoinnya, Mbak. Saya dapet ide,” ujarku pada harimau lapar tersebut.
Diiringi tatapan bingung darinya, kuangkat bolpoin tersebut tinggi-tinggi dengan ujung menghadap ke bawah. Aku letakkan formulirnya di meja, dan mulai memejamkan mata. Ini adalah sebuah pertaruhan. Aku akan memilih jurusan yang namanya tercoret bolpoin yang dijatuhkan olehku. Ingat, aku memejamkan mata, jadi tidak akan tahu mana jurusan yang akan terpilih.
“Traak!!!” bolpoin itu jatuh mengenai formulir di bawahnya. Mataku langsung terbuka. Kuambil formulir tersebut dan melihat jurusan mana yang terpilih. Ilmu Komunikasi. Itulah nama jurusan yang terkena coretan bolpoin tadi. Tanpa banyak pertimbangan, aku langsung mencontrengnya.
“Ini pilihan keduanya, Mbak!” ujarku mantap.
Mahasiswi tadi hanya terbengong-bengong melihat tingkahku. Kemudian, ia tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha, dasar aneh. Kamu serius milih jurusan dengan cara kayak gitu? Ngaco deh.”
“Iya, serius. Emang sih ngaco, tapi ada efek positifnya kok. Mbak jadi ketawa, kan? Tau nggak, Mbak tuh lebih cantik saat ketawa daripada pas marah kayak waktu tadi nungguin saya milih.”
Mendengar gombalan tersebut, sontak saja ia berhenti tertawa. Kini ia menatapku tajam, seakan ada yang aneh dengan wajahku. Hingga akhirnya ia mengajakku memberikan formulir ke tempat pendaftaran.
Sejujurnya, aku merasa aneh dengan mekanisme pendaftaran di kampus ini. Aku harus menuliskan dulu apa jurusan yang akan dipilih dalam selembar kertas yang aku kira formulir. Namun, ternyata formulir yang sebenarnya harus diisi di ruang pendaftaran yang letaknya ada di lantai tiga sebuah gedung. Masalah pilihan membingungkan tadi rupanya hanya sebuah formalitas yang tidak penting.
Di ruang pendaftaran, aku kembali harus mengisi formulir seperti tadi. Bedanya, kali ini yang harus diisi jauh lebih banyak. Mau tak mau, aku jadi membatin. Huh, betapa berbelit-belitnya birokrasi ini. Harus berapa kali lagi aku mengisi formulir?
***
Hari pengumuman kelulusan tiba. Hasilnya, aku diterima di jurusan... Ilmu Komunikasi. Pilihan keduaku. Pilihan yang digantungkan pada sebuah balpoint. Jika dihitung dengan kegagalanku saat SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), ini adalah kegagalan kesekian kalinya. Pilihan pertama SPMB, Teknik Kimia ITB. Gagal. Pilihan Kedua SPMB, Kimia Unpad. Masih gagal. Pilihan ketiga SPMB, Ekonomi Unpad. Gagal juga (hingga saat ini aku masih heran, kenapa dulu memilih pilihan ketiga yang ini? Aku kan sama sekali nggak ngerti ekonomi). Pilihan keempat dan kelima merupakan pilihan pertama dan kedua seleksi lokal kampusku sekarang. Seperti yang kalian lihat, aku diterima di pilihan kedua, atau pilihan kelima secara keseluruhan.
Inilah akibatnya jika menguasai hanya satu mata pelajaran (Kimia), dan payah di mata pelajaran pendukungnya (Matematika, Fisika dan Biologi). Aduh. Tapi nggak apa-apalah. Kalau nggak salah, Ditha, temanku semasa aliyah juga masuk ke jurusan yang sama denganku di kampus ini.
***
Ternyata jurusan Ilmu Komunikasi bercabang menjadi dua konsentrasi, Jurnalistik dan Public Relation. Ini baru aku ketahui saat pendaftaran ulang. Di sana, aku disuruh memilih mau konsentrasi yang mana. Kenapa memilihnya baru sekarang yah? Nggak di awal-awal saja disatukan. Betapa ribetnya.
Maka aku pun langsung mencari-cari temanku yang sejurusan denganku itu. Aku ingin menanyakan, dia memilih konsentrasi apa. Nanti aku pun akan memilih itu. Jadi samaan aja, biar ada teman.
Sayangnya, aku tidak juga menemukannya. Ditelepon pun ternyata HP-nya tidak aktif. Tapi untunglah ternyata aku bertemu temanku yang lain, Ayi. Langsung saja aku bertanya padanya. Mungkin saja dia tahu.
“Yi, tau nggak si Ditha milih konsentrasi mana di Ilmu Komunikasinya? Jurnalistik atau Public Relation?”
“Oh... sip!”
Aku pun menuliskan pilihanku, Jurnalistik, ke kertas pendaftaran ulang. Kemudian, langsung memberikannya kepada panitia yang mengurus administrasi.
***
Keesokan harinya, aku berkunjung ke kosan Ditha. Di sana ternyata ada teman-temanku yang lain, termasuk Ayi. Langsung saja kuhampiri Ditha.
“Dith, kamu masuk Jurnalistik juga kan? Nanti ajarin yah? Kamu kan pinter, sedangkan gue nggak ngerti sama sekali.”
“Jurnalistik? Loh, gue kan milih Public Relation?!”
Ayi, yang mendengar percakapan kami, langsung tertawa sambil meminta maaf.“Maaf Ki, abisnya Ayi lupa.”
Aku masih syok. Tak mampu lagi berkata-kata.
“Ja... ja... jadi, kita beda konsentrasi?” akhirnya pertanyaan itu bisa keluar juga dari mulutku.